"White Lie"
Adi menatap pajangan foto pernikahan mereka di ruang tamu. Bahagia tidak akan lagi jadi tanya, jika ia bisa berbicara dan mendengarkan. Ia merindukan senyum milik An dalam foto itu, mungkin kini pemiliknya lupa bagaimana menciptakan senyum seindah itu. Ia ingin sekali mengembalikannya, tetapi tidak tahu caranya.
Pria itu berjalan ke arah rak-rak yang menyimpan album foto. Tangannya mengambil album dengan sampul retro, tertulis angka tahun di halaman judul "2021-2024". Sepuluh tahun terasa sekejap mata. Halaman pertama, Adi menemukan foto-foto mereka mengunjungi kampus mereka.
Ingatannya melayang pada percakapan sebelum foto itu dicetak.
"Kenapa dicetak, Di. Kan kita bisa menyimpan dalam folder digital."
Saat itu, An mulai memanggilnya Adi akibat orang-orang di universitas mereka, kebanyakan memanggilnya Mr. Adi.
"Impianku adalah menyimpan kenangan dalam album foto, tidak peduli mau dikatakan jadul. Aku suka saja menyimpan foto-foto kita dan menuliskan perasaan-perasaan kita saat mengambil foto ini."
Adi mengelus perlahan tulisan di bawah foto mereka berdua.
Thankful to be by your side now
-Ce
All these times are precious due to you
-An
Senyuman mengembang di bibir Adi, awal-awal mereka berpacaran sangatlah manis. Beragam kata-kata indah mudah terucap walau hanya saling menatap satu sama lain. Masa-masa dimana mereka beruntung memiliki satu sama lain.
Muda memang menyenangkan dan menyegarkan.
Adi melanjutkan halaman selanjutnya, ia menemukan foto yang mereka ambil di antara salju. Salju pertama Adi karena ia tidak menemukan salju di Atera dan Lentera yang tropis.
Ia terkekeh membaca kalimat yang ia tulis di bawah foto itu.
Saljunya cantik, tapi An lebih cantik
-Ce
Adi bisa membayangkan ekspresi An saat ia menulis kalimat tersebut, gadis itu merasa aneh dan bergidik. Bisa dibilang, Adi jarang mengatakan hal-hal memuji secara fisik. Namun tidak dapat ia sembunyikan raut wajah memerah akibat pujian tiba-tiba.
"Puas-puaslah mengenang, Ce."
Sebuah suara tiba-tiba hadir di tengah nostalgia, Adi menoleh. Seorang pria yang seumuran dengan Adi berdiri sambil menenteng tote bag, ia mengenakan kaos polos berwarna putih berlabel brand ternama. Shaka, orang kini menjabat sebagai sekretaris laboratorium Atera.
"Aku mau berganti pakaian lebih dulu, kau tunggulah di sini."
An menyusul kedatangan pria itu buru-buru menaiki tangga menuju kamarnya.
"Duduk, Bang." Adi tidak melupakan sopan santunnya walau hubungannya dan Shaka tidak berakhir baik.
"Mau minum apa, Bang?" Tawar Adi selayaknya menghargai tamu.
Shaka menyeringai, tidak menyangka mendapatkan perlakuan sopan dari Adi pasca tidak bertemu sejak pernikahannya bersama An. Atau Adi sudah melupakan ia adalah salah satu orang yang berusaha menggagalkan hubungan mereka berdua sebelum hari pernikahan.
"Apa saja, yang segar-segar."
Adi membawakan minuman berwarna hijau dalam teko kaca dan menuangkannya di gelas.
"Ini namanya kuwut, Bang. Minuman khas Atera, baru saja dibuat sore tadi."
"Ya, aku tahu minuman semacam ini juga disediakan di restoran ayammu." Ujar Shaka sebelum meneguk minumannya.
"Ku dengar hubunganmu dan An tidak baik?"
Shaka memulai pembicaraan baru pada Adi yang kembali membuka-buka album foto. Ejekan Shaka sama sekali tidak mempengaruhinya.
"An yang mengatakannya?"
Sangsi Adi.
"Semua orang juga tahu, Ce."
"Kalau tidak dariku dan An tidak usah dipercaya, sebagai orang berpendidikan Abang harusnya lebih tahu soal hoax." Sindir Adi terang-terangan. Ia bukannya bodoh, Shaka masih menggilai An seperti dahulu. Pria itu masih lajang di saat usianya hampir menginjak kepala empat.
"Sha, kita bicara di ruang belakang saja." Ujar An tanpa menunggu jawaban Shaka berjalan ke belakang rumah. Di sana terdapat kursi dan meja, tempat biasa bersantai Adi dan An waktu sore sebelum musim dingin menyapa mereka.
"Kamu ngapain ikut?"
Tanya An melihat suaminya yang tiba-tiba duduk di bangku taman belakang seolah mengawasinya.
"Udah lama nggak ke sini sore-sore, biasanya kita kan kita lihat sunset di sini?"
Pria itu masih setia membawa album foto kesukaannya. Membolak-balik tiap halaman seraya ekor matanya mencuri pandang ke arah An dan Shaka.
Matanya memicing saat melihat tangan Shaka berusaha merapikan rambut An yang menutupi mata. Adi terbatuk kencang sehingga An mendongak dan refleks membenahi rambutnya sendiri demi melihat dengan jelas apa yang terjadi pada suaminya.
"Kamu mau air dingin, nggak An?"
Adi berpura-pura haus untuk sekedar menawari An minum.
"Kamu tadi buat es kuwut ya, aku mau itu aja." Sejujurnya An sedikit aneh mendengar Adi menawarinya minum, tidak biasanya.
...
"Sudah puas bertemu mantan?" Adi menunggui An di sebelah kamar wanita itu. Ia menyender dengan melipat kedua tangannya.
"Bukankah kita impas sekarang?" Tantang An, ia tersenyum mengejek hingga Adi tak tahan untuk tak menarik wanita itu masuk ke kamar. Mereka harus bicara berdua, pembicaraan yang memicu pertengkaran ini tidak pantas didengar orang lain, termasuk Lua dan Caesar.
Tangan Adi tergesa mencari folder dan ponselnya. Adi tidak akan bicara panjang lebar, ia menunjukkan video cctv di ruangannya sehingga jelas kebenaran dari peristiwa kemarin.
"Tidak penting." An melepaskan cekalan Adi pada tangan beralih duduk di kasur. Ia lelah.
"Kita perlu bicara." Putus Adi. Ia menarik kursi rias An agar dapat berhadap-hadapan dengan istrinya.
"Kita sedang bicara." An nampak acuh, tetapi ia menunggu suaminya bicara.
"Kita harus bicara."
"Kau sedang bicara." Acuh An.
"Kita nggak bisa terus-terus diam seperti ini, An. Kita harus bicara." Adi mengutarakan kegelisahannya.
"Lucu ya?" Ujar An diakhiri kekehan mengejek. "Kau yang memulai, tapi kau juga yang merasa paling benar."
Adi terdiam, menundukkan kepalanya. Ia mengingat setelah hari dimana kamar mereka terpisah, ia tidak berusaha mengajak An bicara. Ia tidak menanyakan apakah An terluka akibat kehilangan anak mereka. Pria itu malah larut dalam lukanya sendiri, tidak berusaha menangani luka mereka bersama.
Melihat suaminya tak berkutik, An berdiri menghampiri prianya. An mengambil tangan kanan Adi yang dingin."Puisi-puisi mu, semuanya memintaku agar lebih mengertimu. Kau memintaku jadi tanganmu, tetapi tidakkah kau mencoba meraih tanganku, Ce?" Lekat-lekat ia mengangkat dagu suaminya, ia penasaraan raut seperti apa yang tengah disembunyikan Adi.
Perlahan Adi menurunkan tangan An dari dagunya. Sekilas ia menatap matanya beruraian air mata, air mata yang jarang ditunjukkan wanita itu pada siapapun. Selalu hanya Adi yang dapat melihatnya, sialnya hari ini karena ulahnya. "Apakah selalu harus saya yang mengerti kamu, An?" Adi memalingkan wajahnya tidak ingin melihat wajah menangis An, "Apakah harus saya selalu mengalah pada egomu?"
Wanita itu tergugu mendengar pertanyaan retoris suaminya. Ia melangkah mundur sampai terduduk di ujung kasur kembali.
"Tapi waktu itu kamu bisa di rumah sakit untuk menemani Kia, kenapa tidak menemaniku?"
"Saya sudah mengatakan saya tidak menemaninya, kami hanya bertemu karena kami berkonsultasi pada dokter yang sama."
"Kau sakit?" An terlihat cemas.
"Apakah harus saya katakan?" Adi terlihat ragu-ragu, matanya memandang raut khawatir An yang semakin membuat ia merasa bersalah akan jawaban yang sebenarnya.
"Saya berkonsultasi tentang cara agar kamu dan janinmu kuat apabila mengandung lagi?"
An terhenyak ditempat duduknya, air matanya semakin deras mengalir membasahi pipinya yang tirus. Matanya yang tajam terlihat sendu, tangannya meremas selimut kasurnya menahan jerit perasaannya yang telah dibohongi.
"Kau bilang kau tidak masalah jika aku tidak mau mengandung. Jadi kau diam-diam masih mengharapkannya?"
"Dokter bilang masih ada harapan, An." Bela Adi.
Inkompatibilitas rhesus, bayi mereka menderita inkompatibilitas rhesus. Kasus ini disebabkan karena perbedaan rhesus sel darah ibu dan bayi. An berdarah O rhesus negatif sementara si bayi memiliki rhesus positif seperti ayahnya. Sistem antibodi An mendeteksi adanya anomali berupa rhesus yang berbeda sehingga An yang tidak sempat menyadari hal tersebut mengalami keguguran.
Ia tidak akan menyalahkan Adi dalam persoalan ini. Rhesus negatif sangatlah langka di dunia, apalagi di daerah negara mereka yang tropis. Wanita itu mengingat darah Ibunya yang berasal dari negara empat musim itu jelas mengalir dalam dirinya. An tidak lantas membenci ibunya.
Dia dan Adi yang tidak seharusnya bersama. Dokter sudah memberikan alternatif untuk mereka berdua, tetapi An berkaca akan kesibukan keduanya yang tak ada hentinya. Jabatan baru Adi yang membuat pria itu lebih sibuk dari biasanya karena penyesuaian sana sini, rasanya ia hanya merepotkan pria itu tanpa henti.
"Aku minta maaf, An," ucap Adi sebelum melangkah pergi meninggalkan kamar An. Isak tangis wanitanya mengiringi langkah kakinya yang terasa berat. Tangis yang biasanya ia rengkuh dalam peluk itu terasa menyakitkan di telinga.
Adi tak sengaja menatap foto pernikahan mereka seusai keluar dari kamar An. Janji bahagia, menjaga dan menemani An hingga akhir masa terdengar sumbang.
An, benar ia hanya omong kosong. Tidak ada kebohongan yang baik.
White Lie, pernahkah kalian berbohong demi kebaikan?
Lebih baik berbohong atau mengakui kesalahan?
Terima kasih sudah mampir
Jangan lupa vote dan komentar
Sincerely, aprcloudly