Matahari menggantung tinggi di langit biru cerah, memandikan aula kerajaan dengan cahaya keemasan. Tirai beludru merah disibakkan angin lembut, memperlihatkan seorang pria yang terbaring di singgasana megah. Dia tidak sedang duduk dengan penuh wibawa seperti raja pada umumnya. Tidak. Dia malah tidur pulas, kepala bersandar pada satu tangan, sementara dengkurannya mengisi ruangan yang sunyi.
Para menteri berdiri dengan canggung, saling melirik. Salah satu dari mereka, seorang pria tua dengan jenggot panjang dan jubah kebesaran, akhirnya mendekati singgasana. Dia membersihkan tenggorokannya keras-keras.
"Yang Mulia!" teriaknya dengan nada yang setengah hormat, setengah putus asa.Pria di singgasana menggerakkan jari-jarinya, kemudian membuka sebelah mata. Dengan suara yang berat karena kantuk, dia bergumam, "Kenapa kalian selalu mengganggu tidur siangku? Bukankah kalian tahu, tidur adalah pilar utama kesehatan?"
"Yang Mulia, ini tentang ancaman dari Kerajaan Ferith. Pasukan mereka telah bergerak menuju perbatasan!" kata menteri itu dengan nada mendesak.
Sang tiran – atau begitulah orang-orang menyebutnya – menatap pria tua itu sejenak, lalu menguap lebar. "Hmm... Ferith, ya? Mereka menyerang lagi? Bukankah ini yang keempat kalinya bulan ini?"
Para menteri saling berpandangan dengan heran.
"Ya, Yang Mulia. Dan kali ini mereka membawa naga," jawab menteri lain.Sang tiran, yang baru saja hampir kembali tertidur, tiba-tiba membuka kedua matanya. "Naga? Benarkah?"
"Benar, Yang Mulia. Naga api yang sangat ganas."
Pria itu memiringkan kepala, tampak berpikir keras. Atau setidaknya itulah yang terlihat. "Baiklah," katanya akhirnya. "Kirim surat kepada Raja Ferith. Katakan padanya... kalau dia tidak membawa naga yang lebih besar bulan depan, saya akan sangat kecewa."
Ruangan itu hening. Para menteri terdiam, mencoba memahami apakah itu lelucon atau perintah serius.
"Yang Mulia, bagaimana dengan pasukan kita? Apa perintah Anda?" tanya menteri tua."Pasukan?" Sang tiran menguap lagi, lalu menutup matanya. "Biarkan mereka beristirahat. Lagipula, siapa yang butuh perang di tengah hari seindah ini? Jika Raja Ferith benar-benar datang, ajak saja dia minum teh. Dan jangan ganggu tidurku lagi."
Para menteri kembali saling pandang, kali ini dengan ekspresi lebih kebingungan daripada sebelumnya. Namun, mereka tidak berani membantah. Bagaimanapun, meskipun dikenal sebagai tiran malas, setiap keputusan pria itu selalu – entah bagaimana – berakhir menjadi solusi terbaik.
Aula takhta itu adalah perpaduan antara keanggunan dan kemegahan. Pilar-pilar marmer putih menjulang tinggi, dihiasi ukiran-ukiran cerita mitos kerajaan. Langit-langitnya melengkung tinggi dengan mural yang menggambarkan kemenangan besar sang tiran – meskipun sebagian besar kemenangan itu lebih karena keberuntungan daripada perencanaan.
Di luar aula, taman istana yang luas menampilkan harmoni alam yang luar biasa. Bunga-bunga eksotis tumbuh subur, dipelihara oleh para tukang kebun yang sangat berdedikasi. Ironisnya, taman itu menjadi tempat favorit sang tiran untuk tidur siang, terutama di bawah pohon ceri besar yang rindang.
Di tengah diskusi para menteri yang berlanjut tanpa arah, seorang ksatria muda dengan wajah tegas masuk ke aula. Dia membungkuk sopan, lalu berkata, "Yang Mulia, saya telah kembali dari perbatasan."
"Oh, Lio. Kau tepat waktu," kata sang tiran tanpa membuka mata. "Jadi, bagaimana pemandangan di perbatasan? Masih hijau, kan?"
Lio mengerutkan kening. "Yang Mulia, ini serius. Ferith mempersiapkan serangan besar. Jika kita tidak bertindak sekarang, kita bisa kehilangan wilayah penting."
Sang tiran akhirnya membuka matanya sepenuhnya, menatap Lio dengan ekspresi yang sulit diterka. "Lio, apa kau tahu mengapa aku memilihmu menjadi komandan muda kerajaan?"
Lio tertegun sejenak. "Karena dedikasi dan keberanian saya, Yang Mulia?"
"Karena kau bisa berpikir sambil berdiri, sementara aku lebih suka berpikir sambil tidur. Jadi, kau yang memutuskan. Aku percaya padamu."
"Yang Mulia..." Lio terdiam, tidak tahu harus merasa terhormat atau frustasi. "Baiklah, saya akan menyusun strategi. Tapi jika ini gagal, tolong jangan salahkan saya."
Sang tiran tersenyum tipis. "Jangan khawatir. Jika gagal, aku akan bilang itu semua salah angin."
Beberapa hari kemudian, Lio kembali dengan kabar baik. Pasukan Ferith mundur setelah mendapati jalan utama menuju perbatasan dipenuhi jebakan alam. Batu-batu besar yang tampak seperti longsor alami menghentikan pergerakan mereka, sementara naga mereka panik karena bau tak dikenal yang menyengat dari ladang bunga tertentu.
Lio melaporkan temuannya dengan nada heran. "Yang Mulia, bagaimana Anda tahu bahwa longsor itu akan terjadi tepat waktu? Dan bau bunga itu – apa Anda benar-benar merencanakannya?"
Sang tiran tersenyum lemah, mengangkat bahu. "Aku hanya tidur dan bermimpi tentang itu. Kadang-kadang, mimpi adalah strategi terbaik."
Para menteri terdiam sejenak sebelum mulai bertepuk tangan dengan penuh antusias. Sang tiran mengangguk dengan malas, kembali memejamkan mata. "Baiklah, aku sudah cukup bekerja untuk sebulan ini. Jangan ganggu aku sampai musim semi tiba."
Dan begitulah, sang tiran yang malas namun luar biasa terus memimpin kerajaannya dengan cara yang tidak pernah diduga oleh siapa pun.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Lazy Tyrant
FantasySeorang pria malas yang hobi tidur transmigrasi ke dalam tubuh tiran kuat di dunia fantasi. Namun, alih-alih memerintah dengan tangan besi, dia lebih suka tidur sepanjang hari dan menghindari pekerjaan berat. Anehnya, melalui kombinasi keberuntung...