Pagi itu, istana terasa lebih sunyi dari biasanya. Para pegawai kerajaan tampak sibuk, tetapi semuanya berhati-hati. Sebagian besar dari mereka berbisik-bisik di sudut, mengamati pintu kamar tidur sang tiran. Tidak ada yang berani menggangu, kecuali menteri tua yang sudah berpengalaman, yang tampaknya tak pernah lelah untuk mencoba meluruskan keadaan yang membingungkan.
Sang tiran, yang bernama Lyle, terbangun dengan kepala berat. Matanya sedikit bengkak karena terlalu banyak tidur, dan pipinya terasa sedikit kesemutan. Namun, dia tidak merasa terganggu. Bahkan, dia malah menikmati rasa malas yang semakin dalam. "Hmm, tidur memang obat terbaik," gumamnya pelan.
Namun, momen ketenangan itu segera dipecahkan oleh suara ketukan pintu yang keras. Tanpa menunggu jawaban, menteri tua itu membuka pintu dengan buru-buru.
"Yang Mulia, ada kabar buruk," katanya dengan nada serius. "Kerajaan dari Barat, Eravia, telah mengirimkan duta besar untuk meminta kita menyerahkan wilayah pertanian di utara. Mereka mengatakan itu adalah tanah yang hak mereka."
Lyle mengerutkan dahi sejenak. "Serahkan tanah itu? Untuk apa? Apakah mereka ingin lebih banyak tanaman? Atau mungkin mereka hanya mencari alasan untuk menambah wilayah mereka?" Lyle bergumam sambil meregangkan tubuhnya, lebih fokus pada kenyamanan fisiknya daripada keputusan kerajaan.
"Yang Mulia," kata menteri itu dengan gelisah, "Jika kita tidak menanggapi permintaan mereka, kita bisa memicu perang."
Lyle mengangkat bahu dengan malas. "Perang? Hah, mengapa repot-repot? Lagipula, bukankah perang itu sangat melelahkan? Tidak ada yang lebih baik daripada menikmati ketenangan, bukan?"
Menteri itu mulai merasa frustrasi. "Yang Mulia, ini adalah masalah serius. Jika kita tidak bertindak, kita akan kehilangan kendali atas wilayah penting yang menyokong perekonomian kerajaan kita!"
Lyle memejamkan mata sejenak, berpikir keras – meskipun hanya untuk beberapa detik. Kemudian, dengan suara yang lembut namun penuh kebijaksanaan, dia berkata, "Apa kata mereka tentang... menyelesaikan masalah ini dengan cara yang lebih santai? Bukankah terkadang, jika kita memberi sedikit, kita bisa menghindari keributan besar?"
Menteri itu memandang Lyle dengan bingung. "Memberi sedikit? Anda ingin menyerahkan sebagian tanah kepada mereka? Tetapi itu bisa membuka jalan bagi tuntutan lebih lanjut!"
"Ah, tenang saja. Kita bisa menawarkan mereka hanya sedikit tanah yang tidak begitu berharga. Itu akan membuat mereka puas tanpa harus menghabiskan banyak energi," jawab Lyle dengan senyum santai. "Lebih baik menyelesaikan masalah tanpa harus terlibat dalam konflik yang bisa mengganggu tidurku."
Menteri itu tercengang. "Tapi Yang Mulia, Anda... Anda yakin ini adalah keputusan yang bijak?"
Lyle mengangkat bahu. "Keputusan bijak? Semua keputusan ini datang dari mimpi panjangku, yang tentu saja jauh lebih baik daripada keputusan yang dibuat dengan terburu-buru. Percayalah, ini adalah cara terbaik."
Dengan ragu, menteri itu meninggalkan ruangan dengan membawa perintah dari sang tiran yang malas. Sementara itu, Lyle kembali berbaring di ranjangnya, melanjutkan tidur siangnya yang sangat dibutuhkan.
Beberapa hari kemudian, kabar datang bahwa duta besar dari Eravia telah tiba di istana. Mereka datang dengan penuh semangat, membawa dokumen panjang yang berisi klaim atas wilayah tersebut. Lyle menerima mereka di ruang tahta, yang kali ini dihiasi dengan bunga-bunga segar yang diatur dengan cermat oleh para pelayan kerajaan.
Duta besar Eravia, seorang pria berambut perak dan wajah serius, menghadap Lyle yang duduk terkulai dengan malas di singgasana. "Yang Mulia, kami datang untuk membahas tuntutan kami mengenai wilayah pertanian utara. Kami harap Anda bisa menyerahkannya sesuai dengan kesepakatan."
Lyle mengangguk tanpa banyak bicara. "Hmm... baiklah, saya mendengarkan. Tapi sebelum kita mulai, bagaimana kalau kita minum teh terlebih dahulu? Bukankah dunia ini lebih indah jika kita tidak terburu-buru?"
Duta besar itu tertegun sejenak. "Teh?"
"Ya, teh. Anda tahu, minuman yang sangat menenangkan. Di kerajaan ini, kami percaya bahwa solusi terbaik datang setelah secangkir teh yang baik," Lyle berkata dengan mata setengah terpejam.
Meskipun merasa aneh, duta besar itu tidak bisa berbuat banyak dan akhirnya menerima tawaran Lyle. Pelayan istana segera membawa teh yang harum dan menyajikan dalam cangkir porselen halus. Mereka duduk bersama di meja kecil di samping singgasana, menikmati teh tanpa terburu-buru.
Lyle menghirup teh itu dengan santai. "Bagaimana rasanya? Harum, bukan?" tanyanya sambil tersenyum.
Duta besar hanya mengangguk, merasa semakin kebingungan. "Tentu saja. Tapi bagaimana dengan masalah kita, Yang Mulia?"
Lyle menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Masalah? Oh, itu... Hmm, saya pikir kita bisa menyelesaikannya dengan cara yang lebih damai. Saya bersedia menyerahkan sedikit wilayah... tapi hanya sedikit, karena saya rasa itu adalah keputusan terbaik."
Duta besar terdiam. "Sedikit wilayah? Tapi itu... Itu bukan yang kami inginkan."
"Begini saja," kata Lyle sambil berdiri dan berjalan menuju jendela. "Kita berdua sedang duduk di kerajaan yang damai ini, bukan? Kenapa kita harus merusak kedamaian ini hanya untuk masalah tanah? Apa yang lebih berharga dari kedamaian? Apa yang lebih berharga daripada tidur yang nyenyak?"
Duta besar memandangnya dengan heran. "Yang Mulia, Anda benar-benar berpikir ini adalah cara terbaik?"
Lyle mengangkat bahu. "Kita akan lihat. Lagipula, saya hanya mencoba menjaga ketenangan hati saya. Jika Anda tidak setuju, kita bisa bicara lagi nanti... setelah kita tidur sejenak."
Duta besar itu tidak tahu harus berkata apa. Ketika dia meninggalkan istana, dia membawa kabar yang sangat tidak terduga – sang tiran tidak hanya menghindari perang, tetapi juga berhasil menghindari banyak masalah hanya dengan keputusan yang... aneh.
Beberapa minggu setelah pertemuan itu, kabar baik datang. Kerajaan Eravia, setelah mempertimbangkan tawaran yang tidak terduga dari Lyle, memutuskan untuk tidak melanjutkan klaim mereka atas wilayah pertanian utara. Mereka memilih untuk berdamai, dengan satu syarat – mereka akan mendukung kerajaan Lyle dalam urusan perdagangan.
Lyle, yang masih tidur di singgasana, tidak menyadari betapa besar dampak dari keputusan malasnya. Tetapi, bagi rakyatnya, keputusan itu menjadi lambang keberhasilan sang tiran – seorang pemimpin yang, meskipun tampak malas, selalu berhasil menyelesaikan masalah besar dengan cara-cara yang tidak terduga.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Lazy Tyrant
FantasySeorang pria malas yang hobi tidur transmigrasi ke dalam tubuh tiran kuat di dunia fantasi. Namun, alih-alih memerintah dengan tangan besi, dia lebih suka tidur sepanjang hari dan menghindari pekerjaan berat. Anehnya, melalui kombinasi keberuntung...