抖阴社区

Frankness 20

63 3 0
                                        


Kehidupan di kerajaan mulai terasa lebih stabil. Rakyat mulai hidup dengan lebih baik berkat keputusan-keputusan Lyle yang tampak tak disengaja namun membawa dampak besar. Kerajaan yang dulunya lemah kini menjadi lebih makmur, dan pedagang-pedagang dari negeri jauh mulai berdatangan untuk berdagang. Namun, seperti yang sering terjadi dalam hidup, keseimbangan yang rapuh itu tak akan berlangsung selamanya.

Suatu pagi, Lyle yang sedang menikmati sarapan di kamar pribadinya, dikejutkan oleh kedatangan Gerald yang buru-buru. "Yang Mulia, ada berita buruk."

Lyle mengangkat alis, menyuapkan potongan roti ke mulutnya. "Apa lagi sekarang? Jangan bilang ada lebih banyak rapat atau orang-orang yang datang untuk meminta sesuatu."

Gerald menunduk sedikit, tampak serius. "Ada pasukan dari kerajaan sebelah yang mendekat. Mereka ingin berperang."

Lyle hampir tersedak. "Apa? Mengapa mereka ingin berperang? Bukankah kita tidak mengganggu mereka?"

"Menurut laporan, mereka merasa terancam oleh pertumbuhan kerajaan kita. Mereka takut kita akan menjadi ancaman bagi mereka di masa depan," jawab Gerald.

Lyle mengerutkan dahi, merasa sedikit terganggu. "Jadi, mereka akan berperang hanya karena kita berkembang? Bagus sekali." Dia meletakkan sendoknya dan menghela napas. "Lalu apa yang mereka inginkan?"

"Mereka ingin pertemuan diplomatik, Yang Mulia. Mereka berharap bisa membahas masalah ini secara langsung dengan Anda," kata Gerald.

Lyle mengangguk, tampaknya berpikir keras. "Baiklah. Kita atur pertemuan itu. Tapi ingat, aku bukan tipe yang suka banyak bicara atau mengurus urusan perang. Aku lebih suka tidur dan menikmati hidup."

Gerald tersenyum tipis, tahu betul bahwa Lyle tidak akan berubah. "Tentu, Yang Mulia. Kami akan menyiapkan pertemuan itu dengan cara yang paling santai."

Lyle tersenyum, senang dengan pendekatan Gerald yang memahami dirinya. Meskipun dia enggan terlibat dalam banyak hal, Lyle tahu bahwa ini adalah tantangan besar yang tidak bisa dihindari begitu saja. Ia harus menghadapi ancaman ini, meskipun dengan cara yang berbeda.

Pada hari pertemuan, Lyle mengenakan jubah kerajaan yang sederhana. Tidak ada hiasan mewah atau aksesoris berlebihan—hanya jubah yang nyaman, cocok dengan gaya hidup malasnya. Ketika utusan dari kerajaan tetangga tiba, mereka melihat Lyle yang sedang duduk santai di singgasana, sambil menikmati teh yang baru diseduh. Para utusan itu terkejut melihat pemimpin kerajaan yang tampaknya tidak serius, tetapi mereka tetap mendekat dengan sikap formal.

"Kami datang untuk membahas masalah yang mengancam perdamaian antara kedua kerajaan kita," kata pemimpin utusan dengan nada tegas.

Lyle memandang mereka tanpa terburu-buru, sambil menyesap teh dari cangkirnya. "Begini, saya tidak begitu tertarik dengan urusan perang atau politik. Saya lebih tertarik pada tidur dan menjalani hidup yang nyaman. Jadi, mari kita bicarakan ini dengan santai."

Utusan tersebut tampak bingung, dan beberapa bahkan berbisik di antara mereka, tampaknya meragukan keseriusan Lyle. Namun, Lyle melanjutkan dengan santai, "Namun, saya rasa kita bisa menemukan solusi tanpa perlu peperangan. Perang itu melelahkan dan tidak menguntungkan. Apa kata kita coba berdagang bersama, bertukar barang-barang yang kita butuhkan?"

Sejenak, suasana menjadi hening. Para utusan dari kerajaan tetangga tampak bingung, tidak tahu harus merespons bagaimana. Mereka jelas mengharapkan suatu pendekatan yang lebih agresif dan terstruktur.

"Tapi... bagaimana dengan masalah keamanan dan batas wilayah?" tanya salah satu utusan yang tampaknya masih ragu.

Lyle mengangkat bahu. "Batas wilayah itu tidak terlalu penting jika kita bisa saling menguntungkan. Kita bisa menandatangani perjanjian damai dan menjamin bahwa perdagangan akan menguntungkan kedua pihak. Kita bisa memberikan satu sama lain apa yang dibutuhkan tanpa harus bertempur."

Meskipun ucapan Lyle terdengar malas dan santai, ada kebijaksanaan di balik kata-katanya. Para utusan mulai berpikir, meskipun masih ragu tentang pendekatan yang tidak biasa ini. Mereka tidak menyangka bahwa seorang tiran yang mereka kira akan sangat serius dalam urusan perang, justru mengajukan tawaran damai yang lebih pragmatis.

"Apa yang Anda tawarkan adalah sesuatu yang sangat berbeda dari yang kami duga, Yang Mulia," kata pemimpin utusan, akhirnya mengalah. "Tapi kami akan mempertimbangkan hal ini."

Lyle tersenyum tipis. "Ambil waktu yang Anda butuhkan. Dan jangan khawatir, saya tidak akan pergi ke medan perang. Saya lebih suka tidur di tempat tidur saya daripada berada di medan perang."

Dengan itu, pertemuan pun selesai. Para utusan kembali ke kerajaan mereka, dengan keputusan yang masih menggantung di udara. Lyle tahu bahwa dia telah mengambil langkah yang benar, meskipun dengan cara yang sangat tidak biasa.

Beberapa hari kemudian, utusan dari kerajaan tetangga kembali dengan kabar baik—perang dapat dihindari. Mereka setuju untuk berdagang dengan kerajaan Lyle, dengan perjanjian damai yang saling menguntungkan. Lyle hanya mengangguk santai saat mendengar kabar itu.

"Terlihat seperti tidur saya yang panjang itu benar-benar membuahkan hasil," gumamnya sambil tersenyum.

Gerald berdiri di sampingnya, merasa kagum dengan keputusan tak terduga Lyle. "Yang Mulia, Anda benar-benar luar biasa. Anda tidak hanya menghindari perang, tetapi juga mengubahnya menjadi peluang besar bagi kerajaan."

Lyle hanya tertawa ringan. "Kadang-kadang, yang kita butuhkan hanyalah tidur yang cukup dan sedikit kebijaksanaan yang datang tanpa diduga."

Dengan kebijaksanaan yang tak terduga dan pendekatan malasnya yang membawa hasil, Lyle semakin dikenal sebagai sang tiran malas yang berhasil memimpin kerajaan menuju kemakmuran. Namun, meskipun kerajaannya semakin kuat, Lyle tahu bahwa hidup ini penuh dengan kejutan, dan setiap tantangan baru akan datang tanpa diduga. Tapi dia tak perlu khawatir—selama dia tetap tidur dengan tenang, segalanya akan berjalan baik.

The Lazy TyrantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang