Utusan itu hampir tersedak. "Makanan? Yang Mulia, kita berbicara tentang potensi kehancuran kerajaan. Anda ingin menyelesaikannya dengan makanan?"
Lyle menoleh dan tersenyum tipis. "Tentu saja. Makanan menyatukan semua orang, bahkan musuh. Tidak ada yang bisa menolak hidangan enak. Kamu sudah pernah makan hidangan istimewa dari Kerajaan ini, kan? Itu yang membuat mereka semua tenang. Jadi, mari kita coba tawarkan itu terlebih dahulu. Semua orang suka kenyang."
Meskipun terkejut, utusan itu tidak bisa mengabaikan kecerdikan Lyle yang aneh. Ia pun bergegas kembali ke Kerajaan Rencana untuk menyampaikan ide aneh tersebut.
Beberapa minggu kemudian, untuk kejutan seluruh dunia, para pemberontak dari wilayah barat yang sebelumnya dipandang sebagai ancaman besar malah datang dengan senyum di wajah mereka—setelah mereka menerima kiriman makanan lezat dari Lyle. Mereka menyerah tanpa syarat, hanya dengan berbicara tentang rasa lezat makanan yang mereka terima.
Lyle, yang masih terbaring di tempat tidur, hanya tersenyum puas saat mendengar kabar ini. "Lihat, ini semua tentang pendekatan yang benar. Makanan adalah solusi segala masalah."
Alden, yang telah banyak belajar tentang kebijaksanaan Lyle, mengangguk dan berkata, "Yang Mulia, Anda benar-benar membuat dunia ini lebih mudah dimengerti."
Lyle tertawa kecil. "Tentunya, dunia ini memang bisa berjalan lebih baik tanpa terlalu banyak pekerjaan keras."
Dan begitulah, si tiran malas berhasil menyelesaikan masalah yang tampaknya mustahil tanpa mengangkat pedang atau menghabiskan waktu di medan perang. Dengan tidur panjangnya, kebijaksanaannya yang tak terduga, dan pendekatannya yang santai, Lyle membuat dunia tertawa—dan mengingatkan kita semua bahwa terkadang, dalam kekacauan, hal yang paling sederhana adalah jawabannya.
Hari-hari Lyle berlanjut dengan cara yang sama. Ia bangun, makan, tidur, dan sekali-sekali memberikan saran yang aneh namun bijaksana, yang seringkali membawa dampak luar biasa. Meski para penasihat kerajaan terkadang frustasi dengan ketidaktertarikan Lyle terhadap urusan kerajaan, mereka mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang unik dalam cara penguasa mereka memimpin. Keberhasilan demi keberhasilan datang tanpa rencana yang jelas—atau setidaknya, tanpa rencana yang tampak masuk akal bagi mereka yang bekerja keras.
Pada suatu pagi yang cerah, setelah tidur sepanjang malam, Lyle terbangun dan mendapati sebuah surat yang diletakkan di samping tempat tidurnya. Ia memandangnya dengan malas, meraih surat itu, dan membuka segel tanpa semangat. Ternyata, surat itu berasal dari utusan Kerajaan Timoran, kerajaan besar di sisi utara yang terkenal dengan armada perangnya yang tak terkalahkan. Surat itu berisi permintaan aliansi dengan kerajaan Lyle.
"Aliansi?" Lyle merenung sejenak sambil menguap. "Banyak sekali orang yang ingin bersekutu dengan kita, ya? Sepertinya mereka tahu betapa malasnya kita... Eh, kenapa nggak, ya? Biar aja mereka datang."
Tanpa berpikir panjang, Lyle memanggil Alden, penasihat setianya, yang datang tergesa-gesa dengan raut wajah penuh pertanyaan.
"Yang Mulia, ada apa dengan surat ini? Apakah Anda ingin membalasnya?"
Lyle menatap Alden dengan mata setengah tertutup. "Ayo kirimkan jawaban. Katakan saja kami setuju. Tentunya, ini akan lebih menarik daripada sekadar tidur sepanjang hari."
Alden terdiam, merasa bingung. "Tapi, Yang Mulia, ini melibatkan perang dan strategi, dan..."
Lyle mengangkat tangan, menghentikan penjelasan Alden. "Sudah cukup, Alden. Kirimkan balasannya. Aku percaya semuanya akan berjalan dengan baik."
Meskipun ragu, Alden mengangguk dan keluar untuk menindaklanjuti perintah Lyle. Ketika surat balasan itu akhirnya sampai di tangan Raja Timoran, seluruh kerajaan terkejut dengan keputusan yang sangat tidak terduga dari sang tiran. Mereka tidak pernah menyangka bahwa Lyle, yang dikenal sebagai raja malas, akan menyetujui permintaan aliansi tanpa syarat.
Keesokan harinya, para utusan Kerajaan Timoran tiba di istana Lyle dengan harapan tinggi. Namun, mereka disambut oleh sang tiran yang sedang bersantai di kursi besar dengan secangkir teh hangat di tangannya, menghadap jendela besar yang menampilkan pemandangan indah kerajaan. Tanpa ragu, Lyle melambaikan tangan dengan malas.
"Ah, kalian datang lebih cepat dari yang aku kira. Selamat datang, para utusan. Silakan duduk dan nikmati teh kami. Aku baru saja bangun, jadi kita bisa ngobrol-ngobrol santai."
Para utusan itu saling pandang, merasa canggung dengan suasana yang sangat tidak biasa. Mereka yang terbiasa dengan diplomasi formal dan ketegangan dalam pertemuan semacam ini kini harus berhadapan dengan seorang raja yang tampak tidak peduli dengan urusan penting. Namun, mereka juga menyadari ada sesuatu yang berbeda—sesuatu yang aneh namun efektif.
"Sungguh... istimewa, Yang Mulia," kata salah satu utusan, masih mencoba menjaga sikap formal meskipun ia merasa canggung. "Kami datang untuk merundingkan aliansi dan kemungkinan kerjasama militer antara kerajaan kita."
Lyle menatap mereka dengan mata setengah terpejam, tampak tidak terlalu peduli. "Ah, aliansi. Boleh dibilang, aku sudah mengira kalian akan datang. Begini saja, kenapa kita tidak membuat sebuah pesta besar untuk merayakan aliansi ini? Siapa yang suka makanan enak?"
Utusan itu terkejut, dan para anggota rombongan lainnya saling pandang, heran dengan sikap sang tiran. "Makanan?" tanya utusan itu. "Tapi, Yang Mulia, kita bicara soal kekuatan militer dan strategi, bukan soal pesta."
Lyle mengangkat bahu. "Ah, strategi, kekuatan... terlalu rumit. Kita coba cara lain saja, yuk. Aku yakin makanan bisa lebih menyatukan kita daripada perang. Lagipula, siapa yang tidak suka makanan enak?"
Dengan sedikit bingung, para utusan mulai menyerah pada kenyataan bahwa mereka tidak akan mendapatkan jawaban langsung atau serius dari raja ini. Lyle mengarahkan mereka ke ruang makan besar, di mana para koki kerajaan telah menyiapkan hidangan istimewa.
Ketika makanan mulai disajikan, utusan-utusan itu perlahan mulai tersenyum, meskipun masih merasa canggung. Hidangan lezat dengan berbagai rasa unik dan bumbu yang tak terbayangkan sebelumnya membuat mereka lupa sejenak akan urusan diplomatik mereka. Lyle duduk di meja panjang dengan santai, menikmati setiap suapan makanan dengan ekspresi puas.
"Aku rasa kalian akan kembali dengan kabar baik, kan?" Lyle berkata sambil menyendok sup ke dalam mangkuknya. "Makanan adalah cara terbaik untuk menyelesaikan masalah. Jika kalian setuju dengan aliansi ini, kita bisa bicara lebih lanjut nanti."
Ketika utusan-utusan itu meninggalkan istana, mereka merasa terkejut dengan pendekatan yang benar-benar tidak biasa ini. Ternyata, sebuah pesta makan malam yang sederhana dan sebuah tawaran aliansi yang tidak pernah dibicarakan secara langsung sudah cukup untuk menyatukan dua kerajaan besar.
Beberapa minggu kemudian, Kerajaan Timoran mengumumkan aliansi mereka dengan Kerajaan Lyle di seluruh wilayah mereka. Berita ini mengejutkan banyak pihak, dan semakin memperkuat reputasi Lyle sebagai tiran yang tidak pernah melakukan apa yang diharapkan darinya. Dengan cara yang sama sekali tidak terduga, ia berhasil membawa perdamaian dan kemakmuran tanpa harus menumpahkan darah atau melakukan banyak hal.
Rakyat Lyle semakin kagum dengan kepemimpinan sang tiran malas, meskipun mereka tidak bisa memahami bagaimana semuanya bisa terjadi. Lyle tetap menikmati tiduran panjangnya, dengan senyum puas karena berhasil menciptakan kerajaan yang makmur tanpa sedikit pun bekerja keras.
"Kadang-kadang, yang terbaik dalam hidup adalah membiarkan semuanya berjalan dengan sendirinya," gumam Lyle sambil bersandar di kursinya, menatap langit biru yang cerah dari balik jendela istana.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Lazy Tyrant
FantasySeorang pria malas yang hobi tidur transmigrasi ke dalam tubuh tiran kuat di dunia fantasi. Namun, alih-alih memerintah dengan tangan besi, dia lebih suka tidur sepanjang hari dan menghindari pekerjaan berat. Anehnya, melalui kombinasi keberuntung...
Frankness 22
Mulai dari awal