Joanna terlempar ke novel buatannya sendiri dan memasuki tubuh Joanna Avery, tunangan pemeran utama pria kedua yang akan mati seminggu setelah pertunangan. Joanna harus menyelamatkan nasibnya. Akan tetapi, bukan nyawanya yang terancam, namun kewaras...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
-
"Anne?" Jervan terpaku. Joanna tidak ada di tempatnya. Nampan yang ia bawa yang berisi soto ayam dan air mineral itu ia hempaskan ke meja, lalu balik badan dan mencengkeram kerah seragam lelaki yang berdiri tak jauh darinya.
"Mana bajingan itu?!" Ia membentak murka. Tatapannya nyalang.
"Van, tenang dulu-"
"Sialan! Sepupu kesayangan lo itu bakal mati di tangan gue, Gerald Adipati." Jervan melepaskan tangannya dari kerah Gerald. Lelaki itu mundur satu langkah, lalu memukul rahang Gerald dalam sekali ayunan.
Brengsek! Gerald memaki dalam hati. Harvey yang berulah, namun mengapa ia yang kena imbasnya?! Lelaki itu melirik sinis pada Sagara-yang masih anteng di tempatnya tanpa berniat membantunya.
Sagara menghela napas, lalu berdiri. Ia memperbaiki seragamnya seraya berjalan mendekati Gerald dan Jervan. Saat tepat berada di antara mereka, tangan kekarnya menahan kepalan tangan Jervan yang siap kembali dihantamkan pada wajah Gerald. Ia menghempaskan tangan Jervan dengan raut jengah.
"Jangan toxic. Ada banyak mata di sini. Lo mau kembaran lo tahu gimana sifat asli lo?" Sagara berkata tanpa disaring. Bibirnya menyeringai kecil kala Jervan tampak terprovokasi. "Harvey ada urusan sama kembaran lo. Jangan jadi saudara yang posesif. Lagian, mereka sebentar lagi tunangan, kan?"
Jervan mengepalkan tangan. Lelaki itu ingin sekali merobek mulut Sagara. Tunangan? Sampai mati pun ia tak akan membiarkan hal itu. Joanna adalah kembarannya. Hidup dan matinya. Membiarkan Joanna berhubungan dengan laki-laki lain sama saja membunuhnya.
"Bajingan itu nggak pantas jadi tunangan Anne."
"Oh iya?" Sagara merogoh saku, mengambil satu batang rokok yang kemudian ia selipkan di mulutnya, lalu menyalakan korek dan menyulut rokok tersebut. Ia menghembuskan asap rokoknya tepat di wajah Jervan. "Harvey memang bajingan. Tapi bajingan yang punya kuasa dan segalanya, siapa yang bisa melawannya?" Ia menatap Jervan penuh ejekan, lalu melangkah keluar dari kantin diikuti oleh Gerald.
Di sisi lain, Jervan memegang dadanya kala napasnya mulai tak teratur. Lelaki itu merogoh sakunya, lalu mendial nomor telepon Joanna dengan gemetar.
"Anne ... napas Evan ..." Lelaki itu tak sanggup mengucapkan lebih. Ia membungkuk seraya memukul dadanya berkali-kali saat ia mulai kesulitan untuk bernapas.
Kantin langsung ricuh. Jervan yang asmanya kumat di sekolah bukanlah hal asing lagi.
"Telepon ambulans, woi!"
"Eh, eh, itu masa dibiarin tiduran di lantai, cok? Anaknya Mahawira tidur di lantai?"