抖阴社区

11. His First Experience

Mulai dari awal
                                    

Gama tak kuasa dengan tatapan itu. Maka, lelaki itu melepas pagutannya. Ia usap bibir bengkak itu, lalu mengelus pipi si gadis dengan tatapan tak terputus sedikitpun. "Hm?"

Joanna tak menjawab. Gadis itu hanya menatap Gama tanpa bersuara.

"Apa sakit?" Lelaki itu bangun. Ia berpikir jika tubuhnya menimpa Joanna terlalu lekat sehingga gadis itu kesulitan bergerak.

"Gama, ini salah." Gadis itu berbisik kala Gama justru membawanya ke pangkuan lelaki itu. Ia memegang pundak si lelaki dengan menggeleng berkali-kali saat Gama hendak mendekatkan wajahnya.

"Apa yang salah?" Gama menatap Joanna tak mengerti.

"Apa yang kita lakuin tadi-"

Tawa kecil lelaki itu terdengar. "Ciuman tadi salah?" Tangannya merambat mencengkeram pinggang si gadis. "Gue cium lo dalam keadaan sadar, Anne. Gue nggak mabuk dan gue nggak bercanda."

"Gama!" Joanna menghela napas. "Kita nggak punya hubungan apapun, oke? Lagipula, gue ke sini bukan untuk ini, Gama."

"And then? Lo yang ke sini, Anne. Lo yang mancing gue."

"Gue? Mancing lo?" Joanna melongo tak percaya.

Gama mengangguk. "Lo yang ngomong aneh-aneh tentang gue. Gue cuma balas apa yang lo lakuin. Berani berbuat harus berani bertanggung jawab, kan?"

"Jadi kalau ada yang ngomong aneh-aneh tentang lo, bakalan lo cium even itu cowok?"

Gama meremat pinggang Joanna sedikit kencang. "Ngomong apa, sih?"

Joanna menepis tangan Gama yang berada di pinggangnya.

"You are the first, Anne." Gama kembali menaruh tangannya di pinggang si gadis. "Lo yang pertama. Entah gue cium. Entah gue pangku. Entah gue tindih. Lo yang pertama."

Joanna terbatuk. Gadis itu memalingkan wajahnya. Sial. Mengapa Gama begitu tampan dengan ucapannya itu?

"Nggak bisa gini." Joanna turun dari pangkuan si lelaki. Gadis itu berkacak pinggang menodongkan jari telunjuk pada Gama. "Lo-" ia menyipitkan mata. "Jangan deket-deket gue lagi!"

Gama menaikkan sebelah alisnya. "Why?"

"Karena gue-"

"Apa?"

"Gue punya tunangan."

"APA?!" Gama refleks berdiri. "Nggak mungkin!"

Joanna menggigit bibir. Ia menyeringai kecil menatap Gama penuh kepuasan. "Gue cantik, Gama. Nggak ada cewek cantik yang single."

-

"Papa kasih kesempatan Harvey untuk tunangan sama aku?" Joanna memasuki ruang kerja Mahawira.

Mahawira menghentikan fokusnya pada berkas di depannya. Ia tatap putrinya dengan tatapan datar. "Iya."

"Atas dasar apa?"

"Harvey Adam bukan laki-laki buruk, Anne. Kamu akan bahagia jika bersamanya."

Joanna tertawa. "Papa tahu apa soal kebahagiaan aku?" Sial. Mahawira ini sepertinya berniat membunuhnya lebih cepat.

"Papa hanya merasa tidak ada salahnya memberi Harvey kesempatan. Bukankah dia laki-laki yang kamu sukai dulu?"

"Dan kalau aku mengacaukan hidup Harvey lagi? Kali ini Papa mau apa? Mau buang aku kemana demi jaga martabat Papa?"

"Joanna!" Mahawira menaikkan suaranya.

"Apa?!" Joanna balas menantang. "Stop ngurusin hidup aku, Pa. Kita nggak sedekat itu untuk saling mengurusi. Mending Papa urus aja dua anak kebanggaan Papa. Sejak awal, Papa nggak pernah mengharapkan kehadiran aku. Jadi, jangan bersikap seolah-olah Papa sayang sama aku." Ia mengambil napas, menatap Mahawira nanar. Perasaan sialan ini membuatnya ingin menangis. "Sejak Papa buang aku ke Inggris, sejak itu juga aku udah nggak menganggap Papa sebagai Papa aku lagi."

Joanna keluar dari ruangan Mahawira seraya mengusap kasar wajahnya yang dipenuhi air mata.

Di sisi lain, Mahawira menunduk. Pria itu menggigit bibirnya. Tangannya mengepal.

-

"Anne ..."

Joanna menghela napas. Gadis itu mengabaikan Jervan yang kini jongkok di depannya. Gadis itu memilih memejamkan mata dan bersandar pada sandaran kursi taman.

"Jangan nangis."

"Siapa yang nangis?" Sial. Joanna memalingkan wajah. Suaranya begitu parau sehingga orang buta pun akan tahu jika ia baru saja menangis.

"Mau peluk?" Jervan merentangkan tangan, menawarkan pelukan.

"Mau."

Jervan tersenyum kecil. Ia kemudian berdiri dan membawa Joanna ke pelukannya. Gadis itu tenggelam di perutnya. Tangan kekarnya mengelus punggung kembarannya kala kembali mendengar isakan.

Lelaki itu mengeraskan rahang. Tangisan Joanna membuatnya hatinya perih.

"Evan ..."

"Evan di sini."

"Papa ... kenapa Papa benci sama aku?"

Jervan menggertakkan gigi. "Evan bakal kasih pelajaran ke Papa."

"Pelajaran apa? Biologi?"

Ucapan Joanna membuat Jervan merengek. "Anne .."

Joanna melepaskan pelukannya, lalu tersenyum kecil. Gadis dengan mata sembab itu menyentuh jemari Jervan, memainkan jari-jari itu layaknya anak kecil. "Thank you, Evan." Ia membawa punggung tangan Jervan mendekat, lalu ia kecup penuh perasaan.

Thanks karena udah sayang sama Joanna tanpa syarat.

Gadis itu tak tahu bagaimana perasaan Joanna dalam novel saat harus mati mengenaskan tanpa sedikitpun keadilan.

-

to be continued.

500 komen, oke?

see you and have a great day <3!!

-

THE PLOT : ADORE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang