Suara pukulan drum yang dipukul seirama dengan alat musik lainnya itu, mengalun memenuhi ruang pendengaran gadis berkemeja satin light blue dengan rok jeans di atas lutut yang saat ini hanya bisa pasrah ketika lengan kanannya ditarik paksa oleh temannya, entah mau dibawa kemana.
"Ra, jalannya pelan-pelan kenapa sih? Rame gini tempatnya jangan buru-buru!" Dia harus sedikit berteriak untuk menegur perempuan mungil di depannya, saat tarikan lengan sahabatnya itu mulai mengerat.
"Yang namanya konser udah pasti rame lah Zel, kalo mau sepi mah noh di kuburan! Udah ah, keburu diambil orang dulu tempatnya, pokoknya kita harus dapet view yang bagus malam ini." Gadis itu lagi-lagi hanya menurut, segera menarik tangannya yang mulai kebas saat mereka berdua sudah berdiri di baris kedua dari panggung.
Untuk beberapa sekon dia melirik temannya yang terlihat puas dengan posisi mereka saat ini, penyanyi solo pria di atas panggung sana kini terlihat jelas.
Sejujurnya, Zelina Aquamarine masih tidak percaya dirinya akan berdiri di tempat ini, menghabiskan waktu liburan kenaikan kelas dengan menonton konser band bergenre indie rock yang sudah menjadi kesukaan sahabatnya itu sejak lama.
Seseorang yang semangatnya melebihi kerbau pembajak sawah itu namanya Nora Amodia, sahabat sekaligus teman satu kelas Zelina yang juga menjadi oknum berakhirnya dia di tempat ini.
Terkadang rasanya leher terbakar hingga pagi
Seperti aku hidup berpasangan dengan api
Berhenti ulangi psikolog dan terapi
Aku isi bensin kita coba lagiMusik terus berputar, mereka berdua mulai menikmati lagu yang dibawakan, orang-orang yang hadir di sana ikut bernyanyi, menjadikan konser malam itu seperti ingar bingar kota Jakarta di siang hari.
Terlalu berisik untuk ukuran manusia introvert seperti Zelina. Tapi dia tidak bisa menampik bahwa dirinya senang bisa menemani kawannya yang sudah dari berminggu-minggu lalu memohon untuk ditemani.
"Celine pasti nyesel Zel nggak ikut sama kita," kata Nora sambil melompat-lompat kecil mengikuti irama musik.
"Kalo boleh milih, gue mending ikut bantuin Celine ngajar anak SD daripada nontonin lo jingkrak-jingkrak nonton konser tapi gak hapal lirik!" celetuk Zelina yang langsung mendapat lirikan tajam dari sisi kanannya.
"Apaan sih Zel nggak asik banget? Temen macam apa lo, nggak ada girl support girl-nya sama sekali!" balas Nora dengan nada ketus, berhasil membuat Zelina tertawa kecil karena ulahnya.
Tapi hebatnya Nora, dia punya jutaan kantung kesabaran yang nggak menghentikan dia untuk lanjut menikmati konser yang semakin larut semakin tidak kondusif.
Zelina mulai merasakan aliran darahnya memanas, tubuhnya terhimpit, berulang kali ia mencoba keluar dari dorongan orang-orang untuk meraup oksigen sebanyak-banyaknya.
"Ashh!"
Tapi takdir berkata lain, dia justru terkena sikut dari lelaki tinggi di sisi kirinya.
"Eh? Sorry? Lo gapapa?" tanya laki-laki itu. Zelina masih belum merespon, dia masih sibuk menunduk sambil meringis menahan nyeri di dahinya.
"Kepala lo luka ya?" tanyanya lagi, kali ini sedikit mempersempit jaraknya dengan gadis itu, mendekat ke arah telinga karena suasana sekitar yang terlalu ramai.
Pria itu mulai panik saat untuk kedua kalinya gadis itu tak menjawab apa-apa. Lalu tanpa pikir panjang dia meraih lengan kurus itu dan membawanya ke tepi.
"Sekali lagi gue minta maaf, gue beneran nggak sengaja," ucap laki-laki itu, kali ini dengan intonasi yang lebih rendah.
Zelina otomatis mendongak mendengar bias suara asing yang menyapa telinganya, dia baru sadar entah bagaimana caranya sekarang dia sedang duduk di kursi panjang, sementara di depan sana kemeriahan konser masih berlangsung.
"Shh!" Zelina cukup tersentak ketika sebuah benda dingin menyengat kepalanya. Pria itu mengobati memar keningnya dengan es batu.
Seperti orang dungu, Zelina masih mencerna apa yang terjadi, dia tidak bersuara sama sekali sampai dering telpon dari saku jaket denim pria itu berbunyi dan segera diangkat oleh pemiliknya. Satu menit kemudian ponsel itu kembali di letakan di tempat asalnya.
"Sorry banget tapi gue harus balik ke temen-temen gue, kalau gue tinggal sekarang, lo aman, kan?" laki-laki itu bertanya, lagi.
Spontan saja, Zelina mengangguk. Kemudian dalam hitungan detik laki-laki itu raib dari pandangannya. Menyisakan gadis malang itu sendirian.
Untuk beberapa detik musik itu hilang dari jangkauan pikiran Zelina, dia tidak sempat menangkap apapun dari kejadian itu. Kecuali satu. Sorot mata teduh milik laki-laki itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
We're Not Really Different
Teen FictionZelina pikir, perselingkuhan, pelecehan seksual, aksi teror, dan kehilangan adalah insiden paling gila yang pernah terjadi dalam hidupnya. Anak tunggal sepertinya tentu tahu bahwa hidup adalah tempatnya luka tercipta. Tapi di sisi lain dia keliru, Z...