Aku terus mencari ke sekitar, ingin menangkap matamu yang teduh sekali lagi, seakan sudah menjadi canduku, mata itu, menyimpan banyak makna, menutup banyak rahasia.
•••
Pagi ini Zelina kurang beruntung, dia harus berangkat bersama laki-laki yang hampir satu bulan penuh tak pernah ia lihat keberadaannya di rumah, membuat gadis itu terpaksa harus mengawali harinya dengan setengah hati.
"Ayo cepat sedikit Zelin, papa sudah terlambat." Itu suara Agung, papa Zelina. Pria yang berpakaian rapi lengkap dengan black suit-nya itu bergerak gusar di kursi pengemudi sambil melirik arlojinya yang sudah menunjukan pukul tujuh pagi.
"Papa sendiri yang pulang terlalu malem sampe bangun kesiangan, kan? Kalau udah kaya gini baru nyalahin anaknya." Setelah duduk di kursi depan, gadis dengan rambut terurai sebahu itu buru-buru menutup pintu mobil dan memakai seatbelt.
Mobil mulai berjalan mengantar kedua orang itu ke tempat tujuan masing-masing. Selanjutnya hanya ada hening di antara mereka, seperti tiga tahun belakangan ini, tidak ada yang berniat memulai percakapan lebih dulu, sampai mata Zelina tak sengaja menangkap sesuatu yang terselip di laci mobil itu. Lipstik merah terang dari salah satu brand ternama dunia.
"Ini punya siapa, Pa?" tanya Zelina sambil mengangkat benda itu, menunjukan ke arah pria di sebelahnya yang hanya melirik sekilas.
"Bukannya kamu yang suka makeup-an di mobil?" tanyanya balik, masih setia menatap jalanan yang ramai dengan pengendara lain di depan.
"Zelina tau mana yang milik dan bukan milik Zelina. Aku bahkan nggak suka warna merah, papa lupa?" Agung berhasil mematung.
"Papa bawa perempuan lagi kan ke rumah?" selidik Zelina langsung ke inti. Atensi gadis itu kini sepenuhnya diberikan kepada pria itu. Masih tidak percaya dengan apa yang baru saja ia temukan.
"Kamu tuh nggak bisa apa sehari aja nggak curiga? Pagi-pagi udah bikin ribut terus," ucap laki-laki dewasa itu berusaha mengelak.
"Bukannya papa yang bikin kita jadi ribut terus? Kalau dari awal papa cerita, Zelina nggak akan-"
"Udah. Cukup. Kamu nggak tahu apa-apa, tugas kamu itu hanya belajar, sekarang kamu udah kelas dua belas, Zelina. Papa harap kamu nggak malas-malasan dan jadi anak yang bener," sergah pria itu dengan jengah, malas-malasan meladeni putrinya yang terlalu dini untuk mengajaknya bertengkar. Membahas hal yang sudah berulang kali dibicarakan. Tapi tak pernah menemukan ujungnya.
Zelina hanya tersenyum getir, "Akhir-akhir ini papa suka pulang telat, nggak pernah ikut makan malam, papa sesibuk itu kah sampe nggak ada waktu buat Zelina? Dulu waktu masih ada m-"
"Apa yang papa lakukan sekarang ini demi kamu, Zelina. Berhenti berbicara atau papa akan turunin kamu di sini," ucapnya sebagai final, sembari melonggarkan dasi hitamnya karena merasa atmosfer sekitarnya mulai memanas.
Gadis itu menghembuskan napasnya perlahan, mengatur rasa sesak yang entah tiba-tiba memenuhi rongga dadanya. Zelina akhirnya bungkam, bukan karena ancaman dari papanya, tapi karena dia kehabisan kata-kata. Hati dan pikirannya tidak bisa memproses kalimat apapun untuk mencoba memahami orangtuanya sendiri.
***
SMA Bina Lestari terlihat lebih ramai dari biasanya. Kepala sekolah baru saja mengumumkan kepada seluruh kelas dua belas untuk berkumpul di aula. Mereka kedatangan tamu spesial dari kampus ternama di dalam negeri yang katanya akan memberikan sosialisasi pengenalan kampus pada mereka.
Orang-orang berlari kecil menuju tempat yang dimaksud, menyisakan Zelina, Nora, dan Celine yang berjalan santai di tengah-tengah kerumunan manusia itu.
"Kalian tau nggak? Gue dapet info katanya yang ngisi undangan dari kampus top hari ini itu Kak Marcel, kalian tau dia kan?" tanya Nora dengan excited setelah mereka bertiga mendapat kursi di baris tengah aula itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
We're Not Really Different
Teen FictionZelina pikir, perselingkuhan, pelecehan seksual, aksi teror, dan kehilangan adalah insiden paling gila yang pernah terjadi dalam hidupnya. Anak tunggal sepertinya tentu tahu bahwa hidup adalah tempatnya luka tercipta. Tapi di sisi lain dia keliru, Z...