Sejatinya, tak pernah ada obat penawar untuk luka yang tak terlihat.
•••
Hujan baru saja berhenti, aroma petrichor menguar memasuki indra penciuman pemuda itu. Di tengah malam yang tenang saat ini, ia baru sampai di kediamannya, kakinya berjalan gontai ke arah pintu utama lalu membukanya dengan susah payah.
Tubuh lemah itu terpelanting ke tembok, kadang ke sofa-sofa yang berjejer di ruang tamu. Manakala dirinya berusaha untuk tetap berdiri seimbang, tiba-tiba saja suara seseorang menginterupsi ke seisi ruangan.
"Dari mana kamu?"
Bias suara dingin yang tidak asing baginya itu membuat sisa-sisa kesadaran pemuda itu bangkit, ia sedikit terkejut dengan keberadaan orang itu, tetapi langkahnya berjalan menghampiri pria dewasa yang sedang duduk di ruang televisi.
"Ngapain di sini?" tanya pemuda itu tak kalah dingin. Membuat pria dewasa di sana kemudian bangkit dan menatap tajam ke arah bocah SMA yang berpenampilan semrawut itu.
"Sopan sedikit sama papamu, Leon!" bentaknya.
Pemuda itu berdecih pelan, berjalan sempoyongan mendekati pria yang konon adalah papanya. Leon tidak peduli bagaimana pandangan pria itu terhadap kondisi dirinya saat ini, yang ia pikirkan sekarang adalah bagaimana caranya agar ia tetap waras di tengah-tengah kesadarannya yang hampir hilang melayang.
"Apa gunanya sopan ke orang yang udah nelantarin keluarganya?" tanyanya culas dengan wajah menantang.
"Jaga bicara kamu!" tunjuk pria itu tepat di depan wajah putranya.
"Kenapa? Bener, kan? Papa cuma bisa marah-marah nggak jelas! Nggak becus jaga keluarga!"
PLAK!
Satu tamparan berhasil pria itu layangkan, membuat pipi merah padam pemuda itu semakin tercetak jelas, hingga membuat wajahnya tertoleh ke samping.
"Saya nggak pernah ngajarin kamu jadi anak pembangkang dan tidak tahu tata krama seperti ini!"
Leon masih mencerna apa yang baru saja terjadi, meski itu bukan hal yang baru lagi baginya.
"Ini yang saya nggak suka dari cara Clara mendidik kamu! Benar-benar tidak bisa diandalkan!"
Sorot mata Leon kembali menajam, ia seakan dibuat lupa pada beberapa saat yang lalu, dimana dirinya terbawa arus euforia akibat hebatnya permainan musik-musik diskotik dan minuman memabukkan itu, namun saat ini justru hanya ada amarah yang memenuhi relung hatinya.
"Hhh, emangnya papa sendiri bisa diandalkan? Pantes aja mama milih pergi sama orang lain, suaminya aja nggak bisa jaga keutuhan keluarga!"
PLAK!
Tamparan berikutnya mendarat di sisi lain pipi pemuda itu, kali ini membuat sudut bibirnya mengeluarkan darah dan sebercak luka.
"Berani-beraninya kamu!"
Amarah pria itu memuncak, tak kuasa menahan gejolak di dadanya. Seperti yang sudah-sudah, pemuda di hadapannya itu akan selalu jadi sasaran amukannya.
"Seharusnya saya nggak pernah balik lagi ke rumah ini, karena isinya cuma manusia nggak tahu diuntung!"
Pria itu bergegas mengambil tas kerjanya di atas sofa, lantas meninggalkan pemuda itu dengan tergesa.
"Silakan pergi! Pergi yang jauh! Pergi semua! Jangan pernah balik lagi! Rumah ini nggak butuh orang-orang gila kayak kalian!"
Cuih!
Ia memuntahkan darah di mulutnya dengan sembarang, tak memikirkan apapun lagi selain gejolak gemuruh di dadanya yang semakin meningkat.

KAMU SEDANG MEMBACA
We're Not Really Different
Teen FictionZelina pikir, perselingkuhan, pelecehan seksual, aksi teror, dan kehilangan adalah insiden paling gila yang pernah terjadi dalam hidupnya. Anak tunggal sepertinya tentu tahu bahwa hidup adalah tempatnya luka tercipta. Tapi di sisi lain dia keliru, Z...