Cahaya pagi menyelinap masuk melalui jendela dapur rumah Zelina. Aroma roti panggang dan susu hangat memenuhi udara. Zelina duduk di meja makan dengan seragam sekolah yang sudah rapi, wajahnya cerah meski sedikit gugup. Di seberang meja, Papa Zelina menyandarkan punggungnya pada kursi, memegang koran dengan senyum santai.
"Jadi, ini hari pertama ujian, kan?" tanya Papa, menurunkan korannya.
"Iya, Pa. Doain lancar, ya," jawab Zelina sambil meraih segelas susu.
Papa tersenyum lebar, menatap putrinya dengan penuh bangga. "Anak Papa pasti bisa,” ucapnya seraya mengunyah satu gigitan sandwich di mulutnya. “Papa yakin kamu bisa masuk kampus yang kamu mau. Tapi, itu semua tergantung seberapa besar usaha kamu untuk benar-benar meraihnya.”
Zelina mengangguk pelan, mencoba menyembunyikan keraguan yang menyelinap di hatinya. Ia tahu Papa selalu optimis, tapi tekanan itu terkadang terasa begitu berat di pundaknya.
“Iya, Pa. Aku bakal usaha sebaik mungkin,” jawab Zelina sambil memaksakan senyum. Ia meneguk susunya dengan cepat, lalu melirik jam dinding. Waktu hampir menunjukkan pukul tujuh kurang.
“Ya, sudah, intinya hadapi dulu saja, jangan lupa berdoa sebelum mengerjakan soal, minta kemudahan sama Tuhan, semangat, jangan panik. Apapun hasilnya nanti, Papa akan tetap bangga sama kamu,” ucapnya dengan nada lembut, sambil melipat koran dan menatap Zelina penuh keyakinan. “Karena Papa tahu kamu sudah mengusahakan yang terbaik.”
Kata-kata Papa itu menghangatkan hati Zelina. Ia tersenyum kecil, kali ini lebih tulus.
“Makasih, Pa.”
“Jangan terlalu dipikirkan. Kalau nervous, minta pacar kamu buat semangatin.”
Zelina hampir tersedak susu yang baru saja ia teguk hingga tandas. “Papa!” serunya dengan wajah memerah.
Papa terkekeh, tampak menikmati reaksi putrinya. “Nggak perlu malu lah sama papa sendiri.”
"Ih, Papa apaan, deh!" seru Zelina, pipinya memerah. Ia cepat-cepat berdiri sambil meraih tasnya. "Udah ah, aku berangkat dulu. Bye!"
Papa tertawa kecil sambil melambaikan tangan. "Hati-hati, Nak. Ingat, masa depan itu dimulai dari langkah kecil hari ini!"
Zelina keluar rumah, dan senyumnya semakin lebar ketika melihat Kaisar menunggunya di depan gerbang, berdiri di samping motor dengan gagah. Kaisar menyambut Zelina dengan senyum khasnya. "Udah siap?" tanyanya yang langsung diangguki gadis itu, lalu Kaisar memasangkan helm ke kepala gadisnya.
Kaisar membantu menyelipkan tali helm dengan cekatan. Sentuhan tangannya yang lembut membuat pipi Zelina sedikit memerah, meski ia berusaha menyembunyikannya.
"Siap dong," jawab Zelina dengan nada penuh semangat, meski dalam hatinya masih ada sedikit gugup.
Kaisar tersenyum, menatapnya dengan tatapan penuh keyakinan. “Denger ya, kamu bakal baik-baik aja. Aku tau kamu udah belajar keras. Percaya sama diri kamu, oke? Ujian ini cuma satu langkah kecil menuju semua mimpi besar kamu. Lakukan yang terbaik. Bukan buat siapa-siapa, tapi buat diri sendiri. We can do this together, right?”
Zelina tersenyum tipis, merasa sedikit lebih ringan mendengar kata-kata itu.
Kaisar melanjutkan, “Kamu harus percaya, semua yang dikerjakan dengan sepenuh hati akan membawa hasil yang baik.”

KAMU SEDANG MEMBACA
We're Not Really Different
Teen FictionZelina pikir, perselingkuhan, pelecehan seksual, aksi teror, dan kehilangan adalah insiden paling gila yang pernah terjadi dalam hidupnya. Anak tunggal sepertinya tentu tahu bahwa hidup adalah tempatnya luka tercipta. Tapi di sisi lain dia keliru, Z...