"Aelahh, akhirnya temen gue bentar lagi ngerasain juga yang namanya pacaran," celetuk Nora menggoda gadis itu.
"Ya, gue juga masih belum tau sih kedepannya gimana, tapi sore ini dia ngajak gue jalan," ungkap Celine malu-malu.
Nora sedikit terkejut— "Gilaa, sat set juga tuh orang, nggak kaya si onoh!" —lalu matanya melirik pada Zelina.
"Apa lu liatin gue?" kata Zelina sinis, tak kuasa menahan ngeri ditatap horor seperti itu oleh sahabatnya.
"Kode kali, Zel, keburu diambil orang itu."
Kalau sudah begitu, Nora paling susah untuk dibungkam, semua orang jadi santapan empuk untuk terkena sasaran ejekannya.
"Gaje banget."
Zelina tidak habis pikir.
"Jadi mau sama yang mana, Zel?" Kali ini Celine yang bertanya.
Astaga, Zelina tidak kuat melihat ekspresi tengil kedua kawannya yang seakan menuntut jawaban pasti darinya.
"Apaan sih, ngawur lo berdua, kenapa jadi bahas gue deh," sungutnya sambil mengganti posisinya terlentang.
Sementara di sisi lain Nora dan Celine hanya cekikikan melihat tingkahnya.
"Bagus dah, emang udah saatnya kalian berdua punya pacar, biar nggak kebanyakan mengurung diri kaya napi!" ujar Nora sekenanya.
"Najis, lagak lu kaya orang bener, Ra! Situ aja tiap hari cuma ngereum di ruang musik sendirian, cari pacar sono biar ada yang nemenin," balas Zelina langsung ke inti.
Ketika Nora sudah membalas, disitulah Nora kena skakmat. Kata-kata gadis itu tepat menancap di dadanya.
"Jahat banget anjir, sakit dada gue."
"Hahaha."
Celine dan Zelina hanya bisa tertawa, merasa puas bisa membalas kejahilan kawannya.
***
Berbeda dengan riang gembira momen yang diciptakan oleh para gadis itu, ruang makan ini justru tampak lengang, hanya ada dentingan suara sendok garpu dan piring yang saling bertabrakan.
Suasana itu, suasana yang paling Kaisar benci. Benci ketika hanya ada diam yang meliputi dirinya serta kedua orang tuanya, benci ketika di antara mereka tidak ada yang berniat untuk berusaha memecah keheningan, benci ketika dirinya hanya dianggap angin lalu, atau bahkan tidak dianggap sama sekali kehadirannya.
Di tengah sesi makan bersama, Kaisar mencoba meruntuhkan egonya untuk bersuara. Sepertinya biasanya, selalu dirinya yang memulai lebih dulu.
"Ma, Pa, doain Kaisar ya buat lomba basket nanti," ucapnya sangat pelan.
Pria dewasa yang duduk di hadapan tampak tak bergeming, apalagi perempuan yang berada di sisinya. Kaisar merasa canggung, bahkan bersama orang terdekatnya. Tak ada tanggapan apapun yang ia dengar selama beberapa saat.
"Udah kelas dua belas kok masih ikut begituan kamu, Kai? Kalau tertinggal sama yang lain gimana?" ucap pria itu tanpa melirik sang putra, ia masih fokus menyuap nasi ke dalam mulutnya.
Kalimat dan ekspresinya terkesan cuek, dingin, dan tidak peduli.
"Ini turnamen terakhir Kai kok Pa, setelah itu Kai bakal fokus buat kelulusan," jawab Kaisar mencoba menerangkan situasinya dengan halus.
"Kenapa nggak dari sekarang? Emang kamu yakin kedepannya nggak bakal ada halangan lagi?"
Kaisar terdiam, tiba-tiba makanan yang ia kunyah jadi terasa hambar.

KAMU SEDANG MEMBACA
We're Not Really Different
Teen FictionZelina pikir, perselingkuhan, pelecehan seksual, aksi teror, dan kehilangan adalah insiden paling gila yang pernah terjadi dalam hidupnya. Anak tunggal sepertinya tentu tahu bahwa hidup adalah tempatnya luka tercipta. Tapi di sisi lain dia keliru, Z...
10. dining table atmosphere
Mulai dari awal