"Yakin, Pa, aku tau kok mana yang seharusnya jadi prioritas."
"Kalau tahu begitu kenapa masih betah buang-buang waktu? Kan Papa udah bilang kamu harus keluar dari grup itu sebelum kelas dua belas!"
Kaisar sempurna menghentikan aktivitas makannya, ia meremat kuat kedua tangannya sendiri di bawah meja.
"Pulang terlambat, balik sekolah muka babak belur, diskors tiga hari, yakin kamu tau prioritas yang bener itu apa?" tanya pria itu dengan raut wajah menyelidik.
Hati Kaisar mendadak ngilu, seperti ada sesuatu yang memaksa untuk keluar, seakan ada hal yang menahan kuat detak jantungnya, membuat setiap tarikan napasnya terasa tersengal.
Ia tak menampik sama sekali apa yang papanya katakan, sebab semua itu benar. Kaisar sudah ceroboh untuk melakukan sesuatu yang berbeda di luar kendali emosinya. Dan dia merasa bersalah, terutama pada dirinya sendiri, dan seseorang yang sudah pernah ia berikan janji untuk tak mengulangi hal-hal gila seperti yang terjadi siang tadi.
"Kai ngerti, Pa, tapi–"
"Hahh, sudah-sudah, lagi pula itu keputusan kamu mau jadi apa nantinya. Asal jangan salahkan orang tua kalau kamu nggak bisa masuk kampus manapun karena ulah kamu sendiri! Ingat itu!" tekannya tajam.
Seperti ada sesuatu yang mencekik lehernya, pemuda itu menelan saliva dengan susah payah, berusaha bersikap tegar agar emosinya tidak membuncah. Makan siang kali itu terasa lebih mencekam dari biasanya.
Lantas tiba-tiba perempuan di sebelahnya bersuara.
"Kalau adek mau masuk UI, Pa, katanya dia mau jadi dokter."
Tanpa menoleh sedikitpun, pria itu langsung bergegas bangkit dari duduknya untuk pergi meninggalkan mereka berdua. Membiarkan perempuan itu dengan tatapan menyalang dan senyum simpulnya, juga Kaisar dengan gemuruh hebat di dadanya.
Kai masih terdiam di tempat duduk, menyadari bahwa sekeras apapun ia berusaha untuk membalikan keadaan, ternyata semua itu tidak ada gunanya.
Tidak ada gunanya sama sekali.
***
Kaisar sudah berpakaian rapi, pria itu memang berniat untuk pergi ke suatu tempat, mengingat hari ini sudah jadwalnya ia harus berkunjung ke tempat itu. Tetapi ketika kakinya melangkah menuruni anak tangga rumahnya, ia melihat sosok perempuan yang sangat ia kenali tengah berdiri di depan sebuah rak meja foto di ruang tengah.
Ia memutuskan untuk menghampiri mamanya terlebih dahulu.
"Ma, mama kenapa di sini? Kai anter istirahat ke dalem, ya?"
Kaisar memegang kedua pundak ibunya lemah lembut, tak lupa mengusapnya sesekali untuk menghantarkan rasa hangat. Namun ketika dirinya ingin menuntut sang mama ke kamar, wanita itu justru menggeleng lemah.
"Mama mau di sini aja, Kak, di kamar nggak bisa lihat adek," ucapnya tanpa menoleh ke arah Kaisar.
Wanita berambut sebahu dengan setelan pakaian santai itu masih fokus dengan foto-foto yang ia pegang di tangannya. Menelisik jauh ke dalam kenangan manis yang tersirat di dalam bingkai itu.
Kaisar mengikuti arah pandang wanita di depannya, ia dapat melihat sebuah foto dengan empat orang anggota keluarga yang berdiri sejajar dan saling memeluk satu sama lain. Sebuah foto keluarga yang terkesan biasa saja, sama seperti foto keluarga pada umumnya.
Namun Kaisar tahu persis apa yang menjadikan mamanya berdiam diri di sana untuk waktu yang lama, hanya demi memandangi foto itu.
Ia sangat tahu.
"Udah ya, Ma? Mama gak boleh kecapean." Kaisar mencoba membujuk lagi.
"Mama nggak cape, mama masih kuat buat tunggu adek pulang," kata perempuan itu lemah, hampir seperti merintih.
Kaisar mendadak kaku.
"Kita ke belakang aja, ya? Mama seneng liat ikan di kolam, kan? Atau mau liat bunga aja di taman? Mama kan suka bunga," ajak Kaisar mencoba lebih keras.
"Nggak, Kak, Mama lebih suka liat adek makan masakan Mama."
Dengan begitu saja, Kaisar melepas pegangan tangannya dari pundak wanita itu, tubuhnya mendadak lemas.
"Ma, udah, ya? Mau sampe kapan kaya gini? Jangan bikin Kai tambah bingung!" ujar Kaisar sedikit meronta.
Wanita itu akhirnya mau menoleh, "Kamu bentak mama, Kak?"
"Maksud Kai bukan gitu, Ma, tapi–Arghh!"
Kaisar menyerah, kalimat berikutnya tak berhasil ia sampaikan, hanya tertahan di ujung tenggorokan. Dia lelah menghadapi orang tuanya yang seperti itu.
Dia teramat lelah.
Dan dia tidak pernah siap.
Tidak siap dengan semua hal yang nyatanya, sudah terlanjur terjadi di hidupnya.
Akhirnya Kaisar memutuskan untuk pergi, bergegas ke tujuan awal untuk mengunjungi tempat itu, meninggalkan mamanya yang masih saja bengong sambil meratapi foto itu, atau lebih tepatnya meratapi salah satu figur yang ada di dalam foto itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
We're Not Really Different
Teen FictionZelina pikir, perselingkuhan, pelecehan seksual, aksi teror, dan kehilangan adalah insiden paling gila yang pernah terjadi dalam hidupnya. Anak tunggal sepertinya tentu tahu bahwa hidup adalah tempatnya luka tercipta. Tapi di sisi lain dia keliru, Z...
10. dining table atmosphere
Mulai dari awal