抖阴社区

36 | Bunga yang Melewati Musim

10.9K 709 84
                                    

Angin malam membelai lembut wajah Kaisar yang basah oleh peluh dan jejak-jejak air mata. Ia memandang jauh ke bawah, menatap lampu-lampu kota yang redup seperti hatinya yang baru saja melewati badai. Langkah-langkahnya pelan namun mantap menuju anak tangga. Di sampingnya, Zelina menggenggam tangannya erat, seperti jangkar yang menahannya tetap berdiri teguh.

"Udah waktunya turun, Kai," ucap Zelina lembut, suaranya seperti bisikan angin.

Kaisar menoleh, matanya yang kelam kini sedikit bercahaya. Ia mengangguk, lalu menggenggam tangan Zelina lebih erat. Bersama, mereka melangkah turun, melewati lorong panjang rumah sakit yang sunyi menuju ruang tunggu.

"Kai," ulang gadis itu dengan suara setenang angin malam.

Kaisar menoleh, “Iya, kenapa, Zeli?” tanyanya lembut.

Zelina tak membalas apapun lagi setelah itu, gadis itu membuang muka untuk menyembunyikan semu di pipinya, sejatinya ia hanya merindukan bagaimana Kaisar memanggilnya namanya, terlebih dengan sebutan yang masih saja membuat hatinya bergetar seperti yang baru saja ia rasakan. Dan pria di sebelahnya pun hanya melirik singkat sambil diam-diam ikut tersenyum.

Mereka turun perlahan dari atap, langkah kaki bergema di koridor rumah sakit yang sepi. Hati Kaisar masih bergejolak, tapi genggaman Zelina meredakan panas di dadanya. Di ujung koridor, Kiara masih menunggu dengan wajah gelisah sekaligus penuh kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan.

"Lo nggak ngelakuin hal diluar nalar, kan?" Suaranya pecah, matanya menatap Kaisar tajam, tapi ada sedikit getar kecemasan di ujung nada itu.

Bukan apa-apa, Kiara hanya tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada sahabat lelakinya itu, karena Kiara tahu betul bagaimana Kaisar ketika menghadapi hal sulit semacam ini, Kiara tau bagaimana Kaisar ketika pria itu mengalami masa-masa rentan yang seakan tak memberikan pilihan lagi baginya untuk bertahan.

Kiara tidak ingin melihat diri Kaisar yang dulu… yang berantakan dan kacau.

Zelina cukup terkejut mendengar pertanyaan itu, sementara Kaisar hanya diam. Kaisar hanya membalas menatap Kiara dengan mata yang kini lebih tenang. Ia tidak berkata apa-apa, tapi cara tangannya menggenggam Zelina, caranya berdiri dengan punggung tegak, seolah berkata, dia baik-baik saja sekarang.

Ia melewati Kiara untuk duduk di kursi tunggu seperti semula, tanpa menjawab. Zelina hanya menatap gadis itu dengan senyum kecil yang menenangkan.

Kiara yang mengerti sinyal yang diberikan pun akhirnya dapat menghela napas panjang, meskipun belum sepenuhnya merasa lega sebab masih ada hal lain yang sedang mereka nantikan kabar baiknya, yaitu kabar dari seseorang yang ada di balik ruangan sana.

Lantas tak lama kemudian pintu itu berderit, menampilkan seorang dokter yang baru saja keluar dari ruangan.

Pemuda itu segera berdiri, “Gimana keadaan mama saya, Dok?” tanyanya harap-harap cemas.

Tegang, sebelum akhirnya dokter itu tersenyum. "Keadaannya sudah stabil. Ibu kamu berhasil melewati masa kritis," katanya.

Udara yang semula terasa berat tiba-tiba terasa lebih ringan. Kiara hampir jatuh terduduk, menahan air mata bahagia. Kaisar, tanpa ragu, menutup matanya dan berbisik, "Ya Tuhan… terima kasih...." Berulang kali, seperti mantra, ia mengucapkan syukur. Pemuda itu berbalik, menatap Zelina dengan sorot mata yang penuh rasa terima kasih, lalu memeluknya erat.

"Makasih… makasih udah ada di sini," bisiknya pada Zelina, yang hanya mengangguk sambil membalas pelukan itu dengan sama eratnya.

***

Waktu terus berjalan, hari-hari berganti, minggu telah terlewati, dan bulan demi bulan dilalui. Hari ini, lembayung senja tampak cantik menghiasi langit sore, menyinari halaman belakang rumah besar yang tampak lebih rapi dan asri.

We're Not Really DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang