Angin malam membelai lembut wajah Kaisar yang basah oleh peluh dan jejak-jejak air mata. Ia memandang jauh ke bawah, menatap lampu-lampu kota yang redup seperti hatinya yang baru saja melewati badai. Langkah-langkahnya pelan namun mantap menuju anak tangga. Di sampingnya, Zelina menggenggam tangannya erat, seperti jangkar yang menahannya tetap berdiri teguh.
"Udah waktunya turun, Kai," ucap Zelina lembut, suaranya seperti bisikan angin.
Kaisar menoleh, matanya yang kelam kini sedikit bercahaya. Ia mengangguk, lalu menggenggam tangan Zelina lebih erat. Bersama, mereka melangkah turun, melewati lorong panjang rumah sakit yang sunyi menuju ruang tunggu.
"Kai," ulang gadis itu dengan suara setenang angin malam.
Kaisar menoleh, “Iya, kenapa, Zeli?” tanyanya lembut.
Zelina tak membalas apapun lagi setelah itu, gadis itu membuang muka untuk menyembunyikan semu di pipinya, sejatinya ia hanya merindukan bagaimana Kaisar memanggilnya namanya, terlebih dengan sebutan yang masih saja membuat hatinya bergetar seperti yang baru saja ia rasakan. Dan pria di sebelahnya pun hanya melirik singkat sambil diam-diam ikut tersenyum.
Mereka turun perlahan dari atap, langkah kaki bergema di koridor rumah sakit yang sepi. Hati Kaisar masih bergejolak, tapi genggaman Zelina meredakan panas di dadanya. Di ujung koridor, Kiara masih menunggu dengan wajah gelisah sekaligus penuh kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan.
"Lo nggak ngelakuin hal diluar nalar, kan?" Suaranya pecah, matanya menatap Kaisar tajam, tapi ada sedikit getar kecemasan di ujung nada itu.
Bukan apa-apa, Kiara hanya tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada sahabat lelakinya itu, karena Kiara tahu betul bagaimana Kaisar ketika menghadapi hal sulit semacam ini, Kiara tau bagaimana Kaisar ketika pria itu mengalami masa-masa rentan yang seakan tak memberikan pilihan lagi baginya untuk bertahan.
Kiara tidak ingin melihat diri Kaisar yang dulu… yang berantakan dan kacau.
Zelina cukup terkejut mendengar pertanyaan itu, sementara Kaisar hanya diam. Kaisar hanya membalas menatap Kiara dengan mata yang kini lebih tenang. Ia tidak berkata apa-apa, tapi cara tangannya menggenggam Zelina, caranya berdiri dengan punggung tegak, seolah berkata, dia baik-baik saja sekarang.
Ia melewati Kiara untuk duduk di kursi tunggu seperti semula, tanpa menjawab. Zelina hanya menatap gadis itu dengan senyum kecil yang menenangkan.
Kiara yang mengerti sinyal yang diberikan pun akhirnya dapat menghela napas panjang, meskipun belum sepenuhnya merasa lega sebab masih ada hal lain yang sedang mereka nantikan kabar baiknya, yaitu kabar dari seseorang yang ada di balik ruangan sana.
Lantas tak lama kemudian pintu itu berderit, menampilkan seorang dokter yang baru saja keluar dari ruangan.
Pemuda itu segera berdiri, “Gimana keadaan mama saya, Dok?” tanyanya harap-harap cemas.
Tegang, sebelum akhirnya dokter itu tersenyum. "Keadaannya sudah stabil. Ibu kamu berhasil melewati masa kritis," katanya.
Udara yang semula terasa berat tiba-tiba terasa lebih ringan. Kiara hampir jatuh terduduk, menahan air mata bahagia. Kaisar, tanpa ragu, menutup matanya dan berbisik, "Ya Tuhan… terima kasih...." Berulang kali, seperti mantra, ia mengucapkan syukur. Pemuda itu berbalik, menatap Zelina dengan sorot mata yang penuh rasa terima kasih, lalu memeluknya erat.
"Makasih… makasih udah ada di sini," bisiknya pada Zelina, yang hanya mengangguk sambil membalas pelukan itu dengan sama eratnya.
***
Waktu terus berjalan, hari-hari berganti, minggu telah terlewati, dan bulan demi bulan dilalui. Hari ini, lembayung senja tampak cantik menghiasi langit sore, menyinari halaman belakang rumah besar yang tampak lebih rapi dan asri.
Sepulang sekolah, Kaisar membawa Zelina ke rumahnya untuk bertemu sang ibunda. Sejak kejadian terakhir kali, perempuan setengah baya itu tampak lebih sehat, lebih bersinar, dan lebih ceria. Meskipun sementara ini harus dibantu kursi roda dalam menjalankan aktivitas sehari-harinya. Dan walau masih tampak lemah, tetapi senyum di wajah wanita itu seperti mentari yang menghangatkan suasana.
Kaisar beribu kali mengucap syukur karena bisa melihat senyum itu lagi setelah sekian lama.
Mereka menghampiri ibu Kaisar yang sedang menghirup aroma anggrek berwarna ungu cerah, di sebuah pot kecil yang mengelilingi taman.
“Ma,” panggil pemuda itu.
Ibunya yang mengenakan cardigan kuning lembut, menyambut dengan senyum ramah. “Udah pulang, Nak?”
"Iya, Ma. Oh iya, kenalin, ini Zelina," kata Kaisar sambil tersenyum, memperkenalkan gadis itu.
Zelina, sedikit gugup, membungkuk sopan. "Selamat sore, Tante.”
Ibu Kaisar memandang Zelina dengan penuh kehangatan. "Ah, jadi ini gadis yang sering kamu ceritakan. Cantik sekali." Zelina tersipu, membalas dengan senyum tulus.
Ibunya tersenyum lembut. "Terima kasih, ya, Zelina. Kamu udah banyak bantu anak Tante, Kaisar banyak cerita tentang kamu. Tante senang akhirnya bisa bertemu langsung."
“Tante bisa aja, sama-sama ya, Tante, Kaisar juga udah banyak bantu Zelina,” jawabnya tulus.
Wanita itu pun mengangguk pelan, kemudian Kaisar membantu mengendalikan kursi rodanya mengelilingi taman yang tak begitu luas, namun dipenuhi dengan bunga-bunga indah yang bermekaran. Bukti bahwa taman itu dirawat dengan baik, dijaga dengan penuh kasih sayang.
Kaisar tampak sumringah, rasanya seperti beban besar telah terangkat dari pundaknya. Setelah sekian lama ia tidak merasakan kehangatan semacam ini, dirinya merasa sangat bersyukur. Ia bahagia dengan fakta bahwa ibunya telah berdamai dengan kehilangan anak perempuannya di masa lalu. Dan tentunya ia merasa lega bisa melihat senyuman ibunya kembali menghiasi rumah mereka.
Kaisar mendorong kursi roda itu, sementara Zelina berjalan di sampingnya, membawa sekeranjang kecil berisi alat kebun.
"Indah banget bunga-bunganya, pasti Tante suka banget sama taman ini, ya?" tanya Zelina pelan.
Wanita itu tersenyum, matanya menatap hamparan bunga-bunga yang bermekaran. "Tentu saja. Bahkan di saat Tante gila sekalipun, taman ini masih jadi tempat favorite yang paling sering Tante kunjungi. Karena… taman ini dibangun dengan cinta. Setiap bunga di sini punya cerita.”
“Kaya bunga mawar putih itu." Tunjuknya pada sekumpulan mawar putih yang mulai tumbuh dan bermekaran indah.
Zelina mengikuti arah pandang perempuan itu, menatap mawar putih yang tumbuh di sudut taman. "Apa ceritanya, Tante?"
"Mawar putih itu melambangkan ketulusan dan pengampunan," jawab ibu Kaisar. "Tante tanam itu waktu masih belajar memaafkan diri sendiri. Dan ternyata, memaafkan itu butuh keberanian, tapi hasilnya... bikin hati lebih damai."
Zelina mengangguk pelan, merenungkan kata-kata itu. "Indah banget maknanya, Tante. Aku rasa... bunga itu cocok juga buat Kai."
Kaisar tertawa kecil di sampingnya, sedikit gugup. "Jadi, gue mawar putih sekarang?"
"Iya," sahut Zelina dengan senyum menggoda.
Kaisar menatapnya, lalu berkata dengan suara pelan tapi tegas, "Kalau gitu, gue mau kasih mawar putih buat lo, Zel."
Zelina mengerutkan kening, bingung. "Kenapa?"
Kaisar berhenti mendorong kursi roda sejenak demi mengambil mawar putih dari semak-semak dekat mereka. "Karena lo udah ngajarin gue buat maafin diri sendiri, sekaligus bikin gue sadar kalau gue pantas dapat kesempatan kedua."
Ibu Kaisar tersenyum penuh haru, menatap mereka berdua bergantian.
Zelina tertegun, wajahnya memerah. Setelah beberapa detik, ia tersenyum lebar. "Thank you.”
Mereka kembali berjalan-jalan di taman belakang rumah yang dipenuhi bunga mawar, anggrek, melati, lavender, dan bunga cantik lainnya. Aroma segar memenuhi udara. Kaisar tak lupa pula memetik sekuntum mawar putih dan menyerahkannya kepada ibunya.
"Kalian tau? Selain ketulusan dan pengampunan, bunga ini mengajarkan kita untuk mencintai tanpa syarat.”
Kaisar tersenyum dan mengambil setangkai lavender, menunjukkannya pada Zelina. "Mama pernah bilang kalo Lavender itu lambang ketenangan. Aku rasa ini cocok untuk kalian, karena kalian selalu membawa kedamaian dalam hidup Kai."
Zelina memandang Kaisar, bibirnya melengkung dalam senyuman malu-malu. "Gue baru tau soal itu, tapi gue tau satu hal. Asal lo tau, lo juga orang yang memberi keberanian untuk orang lain. Persis kaya mawar merah."
Ibu Kaisar menatap mereka berdua dengan mata berbinar. "Bunga-bunga ini mengajarkan kita bahwa setiap musim akan berlalu, membawa keindahan baru. Sama seperti kehidupan. Tidak peduli seberapa gelap musim yang kita lalui, akan selalu ada pelajaran dan harapan yang bisa kita petik di dalamnya."
Zelina mengangguk pelan, matanya sesaat melirik bunga-bunga yang tertiup angin lembut. "Setuju. Layaknya bunga, mereka nggak pernah berhenti tumbuh meskipun harus melewati badai atau cuaca dingin," katanya sambil memperhatikan sekitar. "Mungkin kita juga harus kayak gitu, terus maju walau kadang rasanya berat."
Kaisar mengangguk setuju, senyumnya hangat. "That’s right! Dan kalau kita punya orang-orang di sekitar kita yang saling mendukung, rasanya beban itu jadi lebih ringan, kan?"
Ibu Kaisar tersenyum bangga mendengar percakapan mereka. "Kalian berdua sudah paham apa artinya kehidupan yang penuh makna. Ingat, kebaikan kecil yang kalian lakukan bisa jadi alasan seseorang bertahan di musim-musim terberatnya."
***
Hari mulai petang dan langit kian menguning, matahari mulai bergerak menjauh seolah terbenam ke dasar lautan. Kini, hanya tersisa dua insan yang masih lekat dengan seragam sekolah mereka di taman itu. Sambil duduk bersisian di bangku panjang, keduanya berbincang ringan seraya menikmati suasana jingga.
“Gimana? Seneng hari ini?” tanya pemuda itu dengan suara halus.
Zelina tersenyum, memandang ke langit "Never better. Rasanya tenang. Gue selalu suka warna dan wangi bunga."
Kaisar tertawa kecil. "I know, makanya gue bawa lo ke sini.”
“Makasih, ya?” ujar Zelina tulus.
“Sama-sama. Asal lo tau, gue juga suka,” ucap Kaisar menggantung, membuat Zelina menoleh ke arahnya. “Gue selalu suka cara lo melihat sisi baik dari segala hal. Itu salah satu hal yang gue kagumi dari lo."
Gadis itu sedikit terkejut. "Nggak nyangka lo bakal bilang begitu."
Kaisar tersenyum canggung, lantas meraih lengan Zelina dan memainkan jari-jarinya. "Gue serius. Lo mungkin nggak sadar, tapi ada banyak hal kecil yang lo lakuin yang selalu bikin hari-hari gue jadi lebih baik. Kadang gue mikir, gimana jadinya kalau lo nggak ada di dekat gue."
Zelina merasa ada perasaan aneh yang hinggap di dadanya, tapi ia hanya tertawa pelan. "Masa, sih?"
Pemuda itu mengambil napas dalam, lalu menatap matanya dengan hati-hati. "Gue udah lama pengen bilang ini, tapi nggak pernah tau kapan waktu yang pas. Karena lo tau beberapa hari terkahir, banyak hal berat yang terjadi di hidup kita. Sekarang, gue nggak mau nyimpen semuanya sendirian lagi.”
Kaisar mengunci tatapan keduanya dalam-dalam. “Gue suka sama lo. Nggak cuma sebagai temen, tapi lebih dari itu."
Gadis itu mendadak terdiam sejenak, matanya membesar, namun tidak ada ekspresi apapun di wajahnya. Seketika jantung pria itu berdegup kencang, salah tingkah atas perkataannya sendiri. "Gue tau mungkin ini bikin lo kaget, tapi gue nggak mau nyesel karena nggak pernah bilang perasaan gue yang sebenarnya."
Zelina masih diam, menunggu lelaki itu berhenti berbicara, sementara itu ia merasakan genggaman tangannya semakin mengerat.
"Zeli, gue tau gue bukan orang yang sempurna. Tapi gue pengen melalui setiap musim di hidup gue bareng lo.”
Zelina membatu, tersihir oleh manik mata teduh yang tak pernah redup, masih dan selalu sama seperti yang pertama kali ia tatap di konser musik kala itu.
“Lo mau, Zel?”
“Hm? Mau apa?”
Kaisar menghela napas, mencoba menyusun kata-kata, sementara wajahnya mulai memerah. Dia mengalihkan pandangan ke Zelina yang menatapnya dengan ekspresi sulit diartikan.
"Mau buat hubungan kita lebih serius. Lo mau kan, jadi pacar gue?" kata Kaisar akhirnya, suaranya pelan namun penuh keberanian. Dia menatap Zelina lagi, kali ini dengan mata yang penuh harap.
Sejenak waktu berhenti. Zelina terdiam membisu, lalu bibirnya melengkung membentuk senyuman kecil, pipinya ikut merona. Namun belum juga memberikan tanggapan apapun, membuat Kaisar cemas, mati kutu.
“Gue nggak mau menyia-menyiakan banyak waktu lagi, Zel. Gue serius.”
Gadis itu tidak tahan lagi melihat wajah menggemaskan sekaligus menggelikan dari wajah pria di hadapannya. Mungkin Kaisar mengira gadis itu akan menolak, padahal sejatinya Zelina hanya tidak tau harus bereaksi seperti apa saking senangnya. Pria itu mungkin tidak tahu bahwa inilah yang selama ini gadis itu tunggu-tunggu. Dia tidak akan pernah tau bagaimana rasanya ditatap sedalam itu hingga rasanya tubuhnya lemas, hatinya luluh, ingin berteriak tapi tak kuasa.
Akhirnya Zelina mengangguk pelan, matanya menatap Kaisar dengan lembut. "Kalau lo serius, gue mau, Kai."
“Artinya?”
“Artinya, gue mau jadi pacar lo, lo jadi pacar gue dan mulai sekarang kita pacaran.”
Kaisar terdiam sejenak, seolah memastikan bahwa apa yang didengarnya benar, ia mengerjap untuk memastikan bahwa ia tidak sedang berada dalam mimpi. Matanya membesar, lalu senyuman perlahan merekah di wajahnya. Angin sepoi-sepoi kembali bertiup, membawa aroma bunga yang harum seakan ikut merayakan awal baru kisah cinta mereka.
Zelina menatap Kaisar dengan tatapan yang lebih lembut dari sebelumnya. "Gue rasa, ini awal dari sesuatu yang baik. Lo siap buat melewati musim-musim kehidupan bareng gue, Kai?"
Kaisar menahan napas sejenak sebelum menjawab, senyumnya melebar. Seakan ingin menyimpan momen ini di dalam hatinya selamanya. Senyum di wajahnya berubah menjadi senyum penuh ketenangan, seolah segala keresahan yang pernah menghantuinya telah hilang.
Dia mengangguk perlahan, matanya berbinar dengan keyakinan. "Selalu, Zel. Selalu.”
Kaisar bangkit, mendekap Zelina dengan penuh kebahagiaan, sementara ibunya tersenyum bahagia di balik jendela rumah itu. Di taman kecil yang sederhana, di antara bunga-bunga yang penuh makna, cinta baru tumbuh, mengakar, dan menjanjikan harapan baru. Sebab sejatinya mereka tahu, seperti bunga, kehidupan akan terus tumbuh dan mekar meskipun badai pernah datang.
To be Continued