Chapter 16 | Cuma bla-bla-bla aja, sih. Keputusan ada di situ!
Keesokkan paginya aku masih saja merasa bersalah. Waktu aku di dalam bathtub, berendam air hangat sambil mendengarkan suara Lorde... aku merenungkan kejadian tadi malam. Bukan, ini bukan soal ciuman itu. Aku akan melupakannya, tentu saja. Aku sedang merenung tentang kata-kata yang Luca berikan pada aku. Sebagai human being gay guy yang baik hati, pastinya aku nggak mau membuat Luca down. Sebab itu aku bertanya-tanya, kalau aku kasih tahu dia perihal ciuman aku sama Damon, dia bakal down nggak, ya?
Uh! Aku nggak akan tahu jawabannya kalau aku nggak nanya. Dan aku nggak mau nanya itu.
Fufufu banget emang otak aku yang plin-plan. Tapi, aku sudah menetapkan diri kalau aku harus jujur sama Luca. Aku nggak mau menyembunyikan sesuatu. Nanti hubungan yang mau aku bangun sama Luca bisa gagal. Aku nggak mau itu. Aku udah bosan mengulang semua masa-masa PDKT. Yah, aku sama Luca emang belum terlalu jauh pendekatannya. Tapi kan, tapi... kami punya sesuatu. Entah apa sesuatu itu. Tanya aja Syahrini.
Hari ini Luca bakal jemput aku, kami akan pergi sekolah bareng-bareng. Nah, nanti di mobil aku akan kasih tahu dia soal ciuman itu. Oh, jangan! Gimana kalau nanti dia mengerem mendadak terus kami ditabrak truk? Terus kepala aku kejedug dashboard mobil dan aku mati. Idih. Ogah, deh! Mending aku kasih tahu pas di sekolah aja, ya. Ih, no-no-no! Bisa-bisa si Rick muka monyet itu malah manas-manasin Luca untuk menjauhi aku. Enak aja. Kalau gitu, pakai option ketiga. Aku kasih tahu Luca nanti malam, saat kami lagi kencan di rumahnya.
Tapi nanti malah merusak suasana. Huhuhu, terus kapan dong? Uh! Ciuman sialan!
Aku bangkit, menyelempangkan postman bag Adidas aku dan keluar dari kamar. Di meja makan, sudah ada Om Alfred dan Tante India. Aku tersenyum kecil ke arah mereka, duduk di kursi yang biasa aku tempati. Tante India menaruh piring berisi dua roti tawar yang sudah dilipat ke hadapan aku. Om Alfred dan Tante India saling pandang, aku tahu ada yang mau mereka bicara kan sama aku. Apa mereka mau ngasih tahu kalau Mama-Papa aku sebenarnya meninggal gara-gara dibunuh Voldemort bukannya kecelakaan mobil? Dan ternyata aku Jerry Botter.
Oke, aku melantur. Itu karena aku lagi sebal sama diri aku sendiri. "Ya, Tante, Om?"
Mereka berdua memasang kembali senyuman di bibir. Mereka harus dipancing dulu, mirip ikan aja gimana. Tante India menggenggam tangan aku yang lagi nggak megang roti tawar. "Kamu nggak apa-apa kan, sayang?" tanyanya, merubah genggamannya menjadi remasan lembut. "Kalo ada apa-apa, cerita ke kami. Tante sama Om pasti dengerin."
"Aku baik-baik aja kok," ujar aku, menggigit roti tawar beroleskan selai nanas. "Serius, deh."
"Tapi tadi malam kamu kayak yang upset gitu. Yakin kamu nggak mau cerita apa-apa ke Om sama Tante?" Ah, aku ingat itu. Tadi malam saat mereka menyapa dan memberikan aku senyum, aku malah nyelonong gitu aja. Nggak kayak aku yang biasanya. Yah, itu kan akibat ciuman si Iblis bertanduk tiga itu! Damon babik! Harus ada huruf K di kalimat Babi tadi biar terasa kalau aku lagi sebal. "Kita berdua emang bukan orang tua kandung kamu, sayang. Tapi—"
Aku membalas remasan tangan Tante India. "Aku nggak apa-apa. Tadi malem itu aku kaget aja, soalnya ngelihat iblis ada di depan mata."
Wajah Tante India mengernyit, takut. "Kamu bisa ngelihat iblis? Oh, Lord Jesus. Serem, nggak?"
Dari dulu sampai sekarang, Tante India memang mudah ditipu. Om Alfred tersenyum samar. Aku tahu dia sadar kalau aku hanya bercanda. Tentu saja. Tante India aja yang terlalu polos. Aku nggak mau bilang dia bego, ya. Dia kan Tante aku. "Serem banget, Tante. Hiiii."

KAMU SEDANG MEMBACA
Catch Me If You Can
HumorSudah pernah nonton orang tawuran? Sudah dong ya. Di TV. Atau mungkin di dunia nyata. Tapi, kamu pernah nggak nonton bencong tawuran? Nggak pernah, kan? Hihihihi. Tapi, ini bukan soal tawuran bencong, ya. Aku pernah sih ikut tawuran bencong. Kami ng...