Chapter 24 | Ronde ke-2. Kalau di states sih disebut Cycle 2 atau Season 2!
Sebenarnya, apa yang sedang aku lakukan? Apa aku membuat keputusan yang tepat?
Maksud aku, apa aku melakukan ini karena sedang patah hati, dan ada seseorang yang sangat aku inginkan... mengulurkan tangannya untuk aku. Membiarkan aku masuk ke dalam pelukkan hangatnya? Apa aku hanya membuat dia sebagai pelampiasan aku aja? Atau memang—wait!! Apa aku tadi ada bilang menginginkan? Kalau iya, tandanya... aku memang mau melakukan ini. Bukan karena dia pelampiasan aku sesaat. Ya, ampun! Kenapa aku jadi plin-plan begini?!
Perlahan tapi pasti, aku pun melakukan dua langkah itu. Masuk ke dalam kamarnya yang selalu mempunyai atmosfir yang sama. Udah hampir tiga tahun aku nggak pernah masuk ke dalam kamar ini lagi. Ketika aku masuk, nggak ada yang berubah secara signifikan. Lemari pakaiannya masih ada di dekat meja komputernya. Poster-poster downhill favoritnya. Rak bukunya pun masih sama berantakkan seperti terakhir kali aku melihatnya. Novel-novel Harry Potter yang aku berikan ke dia sebagai kado ulang tahun nggak tertata rapi di dalamnya. Dia nggak suka baca, novel Harry Potter yang paling tebal (Harry Potter and the Order of the Phoenix) pernah dia gunakan untuk membunuh kelabang yang tiba-tiba keluar dari bawah rak sepatunya. Ew!
Dia—Damon—meraih tangan aku, menggenggamnya erat. Aku menoleh, menatap wajahnya yang ganteng. Dulu, waktu kami masih berumur delapan tahun, aku selalu yakin kalau Damon akan tumbuh dewasa dengan wajah yang benar-benar mempesona. Dan itu terjadi. Aku nggak akan pernah bosan memandangi wajahnya. Juga tubuhnya yang seksi. Tapi aku nggak mengakui itu ke Damon. Dua kepalanya bisa besar gara-gara aku puji. Kepala di atas dan kepala di bawah.
"Lo masih pakek waterbed?" tanya aku, maju ke samping kasur airnya.
Kasur ini dia beli saat kami kelas tujuh, setelah dia membintangi salah satu film bertaraf internasional. Perannya nggak begitu penting sih, tapi bayaran Damon cukup banyak. Itu sebabnya dia bisa beli kasur ini. Kalau diingat-ingat lagi, dia membeli ini karena aku. Hari itu, di atas trampolin, aku bilang sama dia kalau mau tidur di atas waterbed. Dua hari kemudian kasur itu ada di kamarnya. Entah kenapa, sekarang aku berpikir kalau Damon banyak melakukan hal di hidupnya untuk menyenangkan aku. Kenapa aku baru sadar sekarang, sih?!
Damon memeluk aku dari belakang, bibirnya mengecup ubun-ubun kepala aku. Aku meremas tangannya yang melingkar di pinggang aku. "Gue nggak bakal ganti kasur air itu Jerry," bisiknya di telinga aku. "Lo pernah bilang ke gue kalo lo suka tidur di atas kasur air itu, makanya nggak mau gue ganti. Karena gue percaya, lo bakal balik tidur di atas kasur itu lagi."
Aku melepaskan pelukkan Damon, lalu menjatuhkan diri aku di atas kasur air. Ah! Ini dia. Aku suka sekali saat badan aku memantul beberapa kali di atasnya. Beda dengan trampolin. Kalau di trampolin, pantulannya kasar. Nah, kalau yang ini nggak. Look! Aku bisa menggeliat-liat dengan leluasa kalau ada di atas kasur ini. Ya, ampun! Aku benar-benar kangen tidur di atas kasur air kesukaan kami berdua. Aku nggak—
Damon ikut menjatuhkan dirinya, tapi bukan ke atas kasur. Melainkan ke atas badan aku. Kedua sikunya dia buat menjadi penopang tubuhnya agar nggak menindih tubuh aku. Tubuh aku yang tadi bergerak-gerak nggak karuan, langsung terhenti seketika itu juga. Damon mengelus kontol nggak berdirinya ke paha aku, membuat aku bergumam tanpa suara. Mata kami bertemu, kali ini aku bisa melihat binar-binar lebih terang dari sebelumnya di matanya yang gelap. Aku tahu saat ini juga kalau Damon memang menginginkan aku. Bukan hanya dalam artian yang buruk.
Pokoknya... aku tahu. Aku percaya sama Damon kali ini. Aku bisa seyakin ini, mungkin karena aku memang nggak mau menjadi sahabatnya lagi. Somehow, aku merasakan sakit hati setiap kali dia ingin berbaikkan sama aku hanya agar aku menjadi sahabatnya seperti dulu. Mungkin itulah alasan utama aku selalu menolak Damon. Bukan karena aku takut jatuh cinta sama dia lagi seperti dulu, karena toh... cinta itu memang nggak pernah pergi. Tentu saja aku berbual malam itu, malam di mana aku bersama Luca. Aku kan seperti itu, suka menipu diri aku sendiri.

KAMU SEDANG MEMBACA
Catch Me If You Can
HumorSudah pernah nonton orang tawuran? Sudah dong ya. Di TV. Atau mungkin di dunia nyata. Tapi, kamu pernah nggak nonton bencong tawuran? Nggak pernah, kan? Hihihihi. Tapi, ini bukan soal tawuran bencong, ya. Aku pernah sih ikut tawuran bencong. Kami ng...