Ada yang bilang aku cewek tomboy yang baru selesai operasi. Orang sinting!
"Mau keluar, Sayang?" tanya Tante India, yang lagi ada di ruang tamu sama Om Alfred. Menonton TV. Berita gosip, lebih tepatnya. Dan lagi-lagi wajah Damon di sana. Memangnya nggak ada gosip lain apa? Like Ki Joko Bodo yang ingin mengubah nama jadi Ki Joko Pintar atau semacamnya? Kenapa Damon-Damon terus?!
"Iya. Mau ketemu Mas Felix. Sumpek di kamar terus."
Om Alfred memberikan aku acungan jempol. "Bagus. Jangan ngurung diri lama-lama, Jerry. Nggak bagus. Hirup udara luar. Biar otak kamu bisa berpikir jernih."
"Iya, Om. Aku pergi dulu, ya."
"Hati-Hati!"
Uber aku sudah menunggu di depan. Setelah mengunci lagi pagar, aku segera melesat masuk ke mobil. Damon bilang dia beberapa kali bertemu paparazzi di dekat-dekat sini. Mereka pasti sembunyi di balik tong atau apa. Untungnya pas aku buka topi dan kacamata, Bapak Uber-nya nggak kenal sama aku. Takutnya dia nggak mau bawa penumpang homo. Aku takut kalau bapak ini sudah terkontaminasi sama kebencian yang mengakar di Indonesia. Satu menyebar, yang lain mencerna.
Aku kembali mengenakan topi sama kacamata aku lagi waktu kami sudah mendekati Monas. Aku berhenti tepat di depan halte busway. Setelah turun dari mobil, aku langsung menemukan mobil Bima. Warnanya merah gelap seperti darah mens. Aku berlari cepat menuju mobil itu. Mengetuk kacanya untuk memastikan kalau itu sungguh mobil Bima. Yep. Benar Bima. Maka aku pun masuk.
Di dalam mobil aku mendesah lega. "Kita mau ke mana?" tanya Bima, menambah satu klik di tombol AC agar mobilnya lebih terasa dingin. Soalnya aku lagi kipas-kipas.
"Kota Tua," jawab aku, menyandarkan tubuh sembari memejamkan mata. Mau keluar saja aku segugup ini? Apalagi kalau aku ke mall. Masa aku nggak akan ke mall seumur hidup, sih? NGGAK MAU! Mall kan tempat nongkrong wajib aku kala suntuk.
"Di sana kan rame," kernyit Bima. "Ntar lo makin—"
"Nggak kok. Kita bakal diem di dalem van Kakak gue." Dan aku menceritakan soal Mas Felix. Bima mengangguk, memasukkan gigi mobilnya dan kami meluncur ke sana. Selama di perjalanan kami hanya membicarakan soal lagu-lagunya. Lagu I Was Here yang dia tulis sudah selesai. Dan lagu itu tetap terinspirasi dari aku. Bima janji akan mnenyanyikannya secara live di depan aku kapan-kapan.
"Yang mana van-nya?" tanya Bima sesampainya kami di Kota Tua.
"Lurus aja dari sini. Terus kamu parkir di situ," beritahu aku. "Kata Kak Felix van-nya pas di samping Kafe Batavia."
Bima memarkirkan mobilnya nggak jauh dari Kafe Batavia. Aku melirik keadaan di luar. Agak ramai. Wajar. Ini kan sudah sore hari. Aku merapatkan topi yang aku pakai. Bima memberi aku masker. Aku menatapnya penuh terima kasih. Andai saja dia punya masker yang ada gambarnya, biar aku kelihatan unyu. Kalau masker hijau polos begini, dengan aku yang memakai topi dan kacamata hitam, aku mirip teroris.
Aku dan Bima berjalan sesantai mungkin menuju van Mas Felix yang ternyata terpampang jelas di antara banyaknya stand di sini. Soalnya antriannya masih saja panjang seperti dulu. Wajah gantengnya benar-benar memikat para pembeli.
"Lewat sini," ajak aku. Memutar ke kanan, menuju pintu samping van Mas Felix.
Tanpa mengetuk lagi, dan seperti kebiasaan Mas Felix (dia selalu lupa mengunci lagi pintunya setelah masuk, aku nyelonong ke dalam van-nya yang masih sama seperti dulu. Mas Felix menoleh, menatap aku dan Bima bingung. Aku langsung memnberi dia isyarat ngondek dan dia langsung tahu itu aku. Tanpa ba-bi-bu, aku duduk di lantai van, membuka masker dan segala yang menempel di wajah aku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Catch Me If You Can
HumorSudah pernah nonton orang tawuran? Sudah dong ya. Di TV. Atau mungkin di dunia nyata. Tapi, kamu pernah nggak nonton bencong tawuran? Nggak pernah, kan? Hihihihi. Tapi, ini bukan soal tawuran bencong, ya. Aku pernah sih ikut tawuran bencong. Kami ng...
Let's the Music Play: Travis - Closer
Mulai dari awal