抖阴社区

1

1.5K 103 12
                                    

***

Disclaimer : cerita ini bakal sama kaya yang sebelumnya (yang sebelumnya aku unpub kalau yang ini sudah sampe part 5), cuma aku revisi aja karena ngerasa banyak plot hole-nya. Pas ngetik banyak ke distract, jadi berantakan banget. Inti ceritanya bakal sama persis, cuma detailnya aja yang mau aku benerin dikit. Btw, terima kasih sudah mampir, ke sini atau ke cerita lainnya. Aku bersyukur karena akun ini, cerita-cerita yang aku tulis di sini, komentar-komentar kalian, cerita-cerita kalian, semuanya bikin aku tetep waras ❤️

***

"Berapa beratnya?" ia masih berbalut seragam sekolahnya sore ini. Baru saja pulang dari sekolah, dan akan naik ke rumahnya di lantai dua. Namun ia terpaksa berbelok karena seorang pelanggan baru saja datang.

Ibunya mengelola sebuah binatu, di lantai satu dalam gedung tingkat itu. Gedungnya hanya setinggi dua lantai, namun ia harus bersyukur sebab mereka tidak menyewa gedung itu. Dibanding dengan beberapa tahun lalu, uang sewa sebuah gedung saat ini luar biasa mahal. Mereka tidak akan mampu menyewanya jika hanya mengandalkan keuntungan tipis dari bisnis binatu itu.

"Selimutnya tidak akan bersih kalau dicuci bersama boneka itu. Kau harus mencucinya sendiri-sendiri," ia berkomentar, bicara pada pelanggan lain yang akan memasukan boneka beruang besar ke dalam mesin cucinya. "Hanya lima kilogram, kau hanya perlu satu mesin, kau bisa memakai nomor empat," susulnya, bicara pada orang yang baru saja menimbang cuciannya.

Dahulu binatu itu dikelola seorang diri oleh ibunya. Para pelanggan hanya perlu mengantar pakaian mereka. Ibunya yang akan mencuci kemudian mensetrika dan melipat pakaian-pakaian pelanggannya. Namun berkat kemajuan teknologi, juga persaingan yang sengit, mereka mengubah konsep binatu itu menjadi coins laundry, dimana para pelanggan bisa mencuci sendiri pakaian mereka. Mereka hanya perlu menjual koin untuk mesin cucinya. Satu koin untuk sekali mencuci, maksimal tujuh kilogram pakaian.

Biasanya ibunya ada di sana, menunggui binatu itu sembari membantu mereka yang butuh bantuan, ketika mencuci. Biasanya ibunya ada di sana, membantu mencucikan pakaian orang-orang sibuk dengan beberapa ribu biaya tambahan. Namun sore ini ibunya tidak ada di sana, para pelanggan sibuk di sana, sedang Lalisa Kim tidak kelihatan batang hidungnya.

Yina Kim—putri pemilik binatu itu—akhirnya meletakan tasnya di atas sebuah meja dengan laci yang terkunci. Ia melihat dua keranjang pakaian kotor di rak kayu, di sudut ruangan. Tiga dari enam mesin cucinya sedang dipakai oleh dua pelanggan tadi. Satu mesin cuci diberi label "rusak" sedang dua lainnya menganggur.

Lepas menanggalkan tasnya yang berat, ia melangkah mengambil sekeranjang pakaian kotor itu. Di angkatnya keranjang biru itu, lantas membawanya ke mesin cuci nomor satu, mesin cuci yang kosong. "Augh! Menjijikan!" keluh Yina, yang tidak sengaja menemukan kondom bekas pakai di saku celana pelanggannya.

Ia menyentuh ujung kondom bekas itu dengan ujung-ujung kukunya. Mengulurkan tangannya sejauh mungkin dari tubuhnya, tidak ingin terpapar cairan menjijikan itu. Sperma jelas menjijikan kalau sudah berada di dalam kondom bekas, entah sejak kapan. Warnanya sudah terlihat kuning, sangat menjijikan. Yina membuang kondom itu ke tempat sampah, lantas kembali untuk mengecek lagi pakaian-pakaian yang ia masukan ke dalam mesin cuci. Jangan sampai, mesin cuci di binatunya terpapar barang-barang menjijikan seperti itu.

Lepas ia menekan tombol start, dan memastikan mesin cucinya mulai bekerja, ia melangkah kembali ke rak. Mengambil sekeranjang pakaian kotor lainnya, lalu membawanya ke mesin enam. Sekali lagi memasukan satu persatu pakaian kotor milik pelanggannya, kali ini ia perhatikan lagi isi tiap sakunya. Jangan sampai mesin cucinya terpapar kotoran lain.

Di tengah aktivitasnya, seorang dengan celana jeans dan sweater mendorong pintu kaca binatu itu. Yina menoleh, namun pria yang baru saja datang tadi tidak membawa cuciannya. "Oppa! Tunggu dulu di sana, sebentar lagi aku selesai," Yina menyapa pria itu, namun orang yang ia sapa justru memalingkan wajahnya. Terburu-buru laki-laki itu berbalik dan melangkah ke meja kasir dengan panik. Duduk di sana tanpa berani menoleh kembali ke arah Yina. Ia malu, sebab di tangan Yina ada pakaian dalam seorang wanita, berwarna merah mencolok dengan renda.

Di sudut lain ruangan itu, Yina mencuci tangannya. Ada westafel tanpa cermin tapi punya sabun cuci tangan beraroma strawberry di sana. Yina juga pelanggan binatu itu, bisa mencuci tangan mereka di sana, menghilangkan sisa sabun atau kotoran yang mungkin menempel setelah mereka mencuci.

"Mana ibumu?" laki-laki itu bertanya setelah Yina menghampirinya, sembari memberinya sekaleng soda dingin dari lemari es di sebelah meja kasir.

"Sepertinya ke supermarket, katanya sore ini ada sale besar-besaran di sana," jawab Yina. "Supermarket yang akan tutup itu, di ujung jalan," susulnya sembari menunjuk ke arah supermarket dengan tangan kanannya.

"Ah... Aku lewat sana tadi, dan di sana benar-benar ramai. Sangat ramai," komentar anak laki-laki yang baru genap dua puluh tahun itu. "Bagaimana sekolah?" ia kembali bertanya, kali ini sembari membuka kaleng soda yang diberikan padanya. Akan menyesapnya, meski tahu ia tidak boleh melakukannya. Ia harus menjaga suara juga berat badannya, tipikal seorang anak pelatihan di sebuah agensi hiburan besar.

"Sekolah? Masih sama seperti tahun lalu," Yina menjawabnya dengan bahu terangkat. Tidak benar-benar peduli dengan sekolahnya. "Nayeon masih kesal karena oppa tidak menjawab pernyataan cintanya. Tapi sekarang dia mengencani laki-laki lain. Anak paling populer diantara anak-anak kelas sepuluh," ceritanya, memberitahu lawan bicaranya tentang berita paling panas di sekolah.

Pria yang berkunjung itu Bang Yedam, baru saja lulus beberapa tahun lalu. Ia sudah ada di kelas dua belas, ketika Yina mulai bersekolah di sana. Kini Yina duduk di kelas sebelas, sedang Yedam tidak pergi kuliah. Laki-laki itu punya kesibukan lainnya—menjadi anak pelatihan di sebuah agensi hiburan. Tengah berusaha agar bisa debut sebagai seorang produser. Mati-matian belajar untuk bisa membuat musiknya sendiri.

"Omong-omong soal Nayeon, aku memblokir nomor teleponnya," Yedam bercerita, kesal karena Nayeon—teman sekelas Yina—terus menerornya. Mengiriminya puluhan pesan, sampai meneleponnya setiap saat seolah sangat terobsesi padanya. "Aku tidak tahan lagi dengan obsesinya. Dia mengirim hampir tiga puluh pesan setiap harinya. Apa dia tidak pergi bimbel? Bagaimana bisa dia terus mengirimiku pesan?" heran Yedam, membuat Yina menaikan bahunya. Mengirim tiga puluh pesan sehari, tidak lah sulit—bagi Yina—meski ia sendiri, tidak akan melakukan itu jika pesannya tidak dibalas. Harga dirinya terlalu tinggi untuk rela mengemis pesan balasan dari teman prianya.

Selesai membicarakan Nayeon, Yina bertanya alasan Yedam datang. Meski dalam pesannya siang tadi Yedam sudah mengatakan alasannya—ia butuh bantuan Yina untuk musik barunya. "Kau pernah bilang kalau ibumu sempat ikut trainee di YG, ingat kan?" Yedam bertanya untuk menanggapi pertanyaan Yina, dan gadis itu menganggukan kepalanya.

"Lalu?"

"Kapan ibumu pelatihan di sana?"

"Uhm... Belasan tahun lalu?" Yina mengira-ngira. "Dia berhenti saat usiaku... Maksudku usianya delapan belas, itu sudah empat belas tahun lalu. Kenapa?" gumamnya.

"Apa ibumu kenal Produser GD?" Yedam kembali bertanya. "Produser yang menulis lagu Let's Not Fall In Love, Tell Me Goodbye-"

"Ahh... Produser yang selalu membuat lagu mellow tapi berisik itu? Ya, aku rasa ibuku mengenalnya," sela Yina sembari menganggukan kepalanya. "Setiap kali pria itu merilis lagu baru, ibuku bercerita kalau dulu dia berteman dengan produser itu. Tapi kenapa oppa bertanya? Ibuku tidak mengenalnya lagi sekarang. Mereka sudah putus kontak, sudah lama sekali. Ibuku pernah kehilangan handphonenya dan semua yang ada di sana hilang. Dulu sekali, saat e-mail dan handphone belum bersatu."

"Ah... Begitu? Aku butuh seseorang yang mengenal produser itu," Yedam menghela nafasnya.

"Kenapa? Untuk apa?"

"Rumornya produser itu yang akan menilai musikku akhir bulan nanti. Tapi aku sama sekali tidak tahu bagaimana seleranya," Yedam sekali lagi menghela nafasnya. Berlaga seolah masalahnya adalah masalah yang paling berat. "Dia bukan produser di agensiku. Dia produser di agensi lain dan sudah lama bekerja di agensi lain. Saat aku mulai trainee, dia ada di agensi lain. Tapi belum lama ini dia bertengkar dengan penyanyinya, lalu mengundurkan diri... dan sepertinya akan kembali ke agensiku, karena dia berteman dekat dengan CEO agensiku," Yedam mengoceh, bercerita sedang Yina hanya menatapnya, diam seolah ia paham tentang semua masalah itu. Yina tidak benar-benar memahaminya.

***

Introducing Me (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang