抖阴社区

25

364 80 0
                                    

***

"Oppa harus belanja sepanjang malam? Hanya untuk beberapa barang itu?" heran Lisa, sebab Jiyong baru datang setelah pria itu mengantar Yina ke sekolahnya. Jiyong menekan bel rumah Lisa, menunggu gadis itu keluar dari rumahnya, sebab binatu baru akan buka pukul setengah sepuluh nanti. Setelah Lisa selesai dengan urusannya.

"Apa yang sedang kau lakukan?" tanyanya, sebab melihat Lisa berkeringat. "Kau sakit?" susulnya dan Lisa menggeleng.

"Hanya berolahraga sedikit," jawab gadis itu. "Kenapa datang sepagi ini? Oppa bisa datang nanti siang, saat binatunya buka," katanya kemudian, mempersilahkan Jiyong untuk masuk ke dalam rumahnya, sebab di dengarnya gemuruh kecil dari perut pria itu. "Oppa mau sarapan di sini?" tanyanya setelah Jiyong melangkah masuk ke dalam rumahnya. Lisa sedang menari, mengikuti video yang diputar di layar tv-nya. Gadis itu langsung mematikan tv-nya, tepat setelah Jiyong melihat layarnya.

"Kau masih menari," komentar Jiyong, memerhatikan Lisa yang mematikan tv-nya, lantas melempar remotenya ke sofa.

"Kebiasaan lama tidak mudah berubah," angguk Lisa. "Tapi sekarang aku kelelahan setelah satu lagu. Sepertinya aku sudah semakin tua," susulnya.

Gadis itu kemudian melangkah ke dapur, setelah mengusap keringatnya dengan selembar tissue yang ia ambil dari meja ruang tengah. Ia membuang tissue kusut itu ke tempat sampah, lalu mencuci tangannya di sana. Mengatakan kalau ia dan putrinya sudah sarapan hampir satu jam yang lalu. Jiyong perlu menunggu, agar Lisa menyiapkan sarapan untuknya, semangkuk nasi dengan sup dan lauk sampingan lainnya.

"Lisa-ya," panggil Jiyong, di saat gadis itu tengah mengambilkan semangkuk nasi untuknya. Setelah Lisa menyajikan beberapa lauk yang ia keluarkan dari lemari es. Lemari es besar, hampir tiga kali lipat lebih besar dari milik Jiyong di rumahnya.

"Hm?"

"Terima kasih," susulnya, membuat gadis yang baru saja menutup penanak nasinya menoleh kebingungan.

"Untuk apa? Makanan ini?" tanyanya heran.

"Tidak," dengan lembut pria itu menggeleng. "Terima kasih karena tidak meninggalkan Yina," tambahnya. Membuat Lisa tiba-tiba saja merasa sesak. Sepanjang hidupnya, tidak seorang pun berterima kasih padanya untuk masalah yang satu itu—tentu Yina tidak masuk dalam hitungan. Kakaknya tidak pernah berterima kasih karena ia menjaga putrinya. Ibunya pun pergi tanpa sempat berterima kasih padanya. Bahkan wanita yang mengaku sebagai neneknya Yina, tidak pernah mengatakan itu.

"Kemarin aku merasa sangat prihatin padamu, aku sangat menyayangkannya. Kasihan Lisa, yang kehilangan hidup dan mimpinya," lanjut Jiyong, sementara Lisa masih mematung di depannya. Menahan nyeri di bagian dadanya. Tiba-tiba saja merasa begitu sedih. "Tapi... Yang membuatku marah sepanjang hari, karena aku justru merasa bersyukur. Rasanya memang picik sekali, merasa bersyukur atas semua yang hilang dari hidupmu. Tapi aku benar-benar bersyukur, karena Yina bertemu denganmu. Karena kau tidak meninggalkannya, saat semua orang melakukannya. Mungkin aku memang tidak seberapa menyukaimu, sampai aku bisa merasa seperti itu. Aku minta maaf karena selalu membual tentang perasaanku, juga karena aku merasa begitu," akunya, justru membuat Lisa menangis di dapurnya sendiri.

Lisa menangis, terisak seperti seoang anak kecil yang dulu pernah Jiyong kenal. Dengan semangkuk nasi di tangannya, juga sendok untuk mengambil nasi itu di tangan lainnya, gadis itu terisak. Tanpa bisa menjelaskan perasaannya sendiri, Lisa menangis. Tidak seorang pun pernah memujinya, kebanyakan dari mereka—yang mengetahui masalahnya—hanya mengasihaninya. Kasihan sekali anak itu, dia harus menjaga anak yang bukan anaknya. Kasihan sekali dia, bekerja keras sendirian untuk anak orang lain. Atau mereka menyebutnya bodoh, si bodoh yang berlaga baik bak malaikat. Paman dan bibinya meninggalnya, menyebut Lisa bodoh karena memilih putus sekolah untuk merawat keponakannya. Bahkan anak itu belum tentu anak kakakmu, kau pernah menguji DNA-nya? Kau tahu apa itu DNA kan? Sepanjang hidupnya, selama belasan tahun lamanya, Lisa hanya mendengar ujaran prihatin, mereka yang kasihan juga mereka yang mengkritiknya.

Lama gadis itu menangis dan yang bisa Jiyong lakukan hanya mengambil mangkuk juga sendok nasi yang dipegangnya, lantas mengusap-usap rambut serta bahunya. Menenangkannya, namun tidak berani memeluknya. Merasa kalau ia tidak berhak melakukannya, tidak boleh melakukannya.

"Aku benar-benar membencinya, pencuri itu," isak Lisa sembari menangis. Mengeluarkan apa yang selama ini tertahan dalam dirinya. Memberitahu seseorang tentang perasaannya yang sebenarnya, yang selama ini ia sembunyikan demi melindungi keluarganya—putrinya. "Aku membencinya. Sangat membencinya," katanya sembari mengusap sendiri air matanya, mencoba untuk menghentikan tangisannya.

Jiyong mengambilkannya selembar tissue, membantu mengusap air matanya. Sampai Lisa akhirnya berhenti menangis dan mengeluh lega. "Aku tidak pernah menangis sekeras ini sebelumnya," katanya kemudian. Setelah ia kembali pada kenyataannya, pada kehidupan yang selama ini di jalaninya. "Aku tidak pernah menangis di rumah, dan memalukan kalau menangis seperti tadi di luar," susulnya, yang kemudian mengambil selembar lagi tissue dari kotak di pegangan Jiyong. Lisa membuang ingusnya di depan Jiyong, kemudian berbalik untuk membasuh wajahnya di westafel.

Sekali lagi Jiyong mengulurkan tangannya, mengusap rambut Lisa yang tengah membasuh wajah, lalu memegangi rambutnya agar tidak basah. "Kalau butuh tempat untuk menangis, aku bisa meminjamkan rumahku," kata Jiyong, dari belakang punggung gadis yang masih membersihkan wajahnya itu. Berkali-kali membuang ingusnya di sana, kemudian bangkit untuk mengelap westafelnya. Mencuci westafelnya dengan sabun dan spons cuci piring.

"Tapi kenapa kau menangis?" susul Jiyong. "Aku melukai perasaanmu? Tentu saja, aku pasti-"

"Berhentilah menebak-nebak perasaanku," potong Lisa. "Apa oppa tidak tahu kalau tebakanmu selalu salah? Oppa tidak melukai perasaanku. Akhir-akhir ini aku sering disalahkan, Bibi Oh marah dan menyalahkanku karena Yina tidak mau pergi bimbel. Aku juga salah karena Yina menyeretmu dalam kebohongannya. Lalu pria yang dekat denganku selalu bilang—kenapa kau merelakan masa depanmu untuk anak itu? Padahal kalau kau tetap debut, minimal tetap sekolah, meski harus meninggalkannya sebentar di panti asuhan, kau bisa memberinya hidup yang lebih baik. Ucapanmu tadi justru sangat menghibur," katanya, yang berbalik dan menarik rambutnya dari pegangan Jiyong. Meraih karet gelang di kenop laci dapurnya, memakainya untuk mengikat rambutnya.

"Aku tidak pernah berencana menghiburmu," gumam Jiyong, yang selanjutnya menghela nafasnya. Melangkah untuk duduk di meja makan, di tempat biasanya ia duduk. "Aku benar-benar merasa buruk, karena tidak bisa memposisikan diriku di atas sepatumu," susulnya, terlihat kembali murung, seperti kemarin.

"Kalau begitu tidak perlu berdiri di atas sepatuku. Berdirilah di atas sepatumu sendiri," santai Lisa, ia sudah terbiasa mendengarkan keluhan-keluhan putrinya. "Untuk apa oppa berdiri di atas sepatuku? Sepatuku tidak akan muat untukmu, aku rasa begitu," susulnya kemudian.

"Jangan bercanda. Kau tahu maksudku," gerutu Jiyong.

"Augh... Kenapa oppa marah padaku?" heran Lisa, ia kemudian terkekeh melihat sikap itu. Mengatakan kalau Jiyong terlihat sangat menggemaskan sekarang. Seperti Yina ketika gadis itu merasa bersalah karena sudah menghancurkan mimpinya. Namun karena bukan Jiyong bukan lah Yina, Lisa jadi merasa pria itu sangat lucu sekarang. Tanpa Lisa sadari, kalau Jiyong memang bisa benar-benar jadi seperti Yina, jika dulu ia bertemu seorang baik seperti Lisa.

***

Introducing Me (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang