***
Yina menunggu di depan pintu ruangan itu. Senyumnya terulas begitu melihat Jiyong keluar dari sana. "Paman, apa kau kesal?" tanya Yina, sedang Jiyong melirik padanya, kemudian melangkah masuk ke dalam lorong, akan pergi meninggalkan bangunan itu.
"Guru itu benar-benar konselor di sekolah ini?"
"Hm..." Yina mengangguk. "Dan dia juga Bibinya Wonyoung. Adik ibunya Wonyoung," susulnya, membuat Jiyong langsung menoleh, menatap pada Yina dengan matanya yang membulat sempurna. "Sedari awal aku tahu dia tidak akan memihak padaku. Tapi syukurlah Paman yang ada di sini. Kalau eomma yang datang, dia pasti akan sangat marah."
"Aku pun sangat marah sekarang."
"Paman tidak tahu bagaimana eommaku saat sedang sangat marah?" tanya Yina, yang kemudian membuat tanduk di kepalanya, dengan dua jarinya. "Sangat menakutkan. Kau tidak akan melihatnya sebagai seorang yang kau kenal lagi, jika sudah melihatnya sangat marah. Tapi, apa yang terjadi pada eommaku? Pemerikasaan apa? Dia tidak benar-benar sakit kan?" tanya Yina dan Jiyong menggelengkan kepalanya. Tidak ada yang sakit, bahkan Lisa tidak menghubunginya sepanjang hari ini. Wanita itu memang jarang menghubunginya. Hanya Jiyong yang terus-menerus menghubungi Lisa. Mencari-cari alasan untuk lebih sering bertemu.
Tiba di depan gedung sekolah, Sandara menunggu mereka di sana. Wanita itu hanya menunjukkan senyum simpulnya pada Yina, lalu mengatakan kalau ia perlu bicara berdua dengan Jiyong. Maka, Jiyong suruh Yina untuk pergi ke mobil lebih dulu. "Jadi... Apa yang akan kau lakukan sekarang?" tanya Sandara, setelah Yina membawa ranselnya melangkah pergi, menjauhi gedung sekolahnya. Pergi ke tempat parkir dimana Jiyong meninggalkan mobilnya.
"Apa lagi? Tentu saja membuatnya jera," jawab Jiyong.
"Aku tidak tahu apa yang bisa membuatnya jera," Sandara menanggapinya. "Rasanya hanya aku yang mulai gila, karena harus terus mengurusnya," susulnya, lantas bertanya, haruskah ia mengundurkan diri juga? Mengakhiri kontraknya, sama seperti yang Jiyong lakukan.
"Orangtuanya benar-benar ada di Australia?"
"Tentu tidak," Sandara menghela nafasnya keras-keras. "Guru itu bibinya. Bahkan sebelum datang, aku sudah diberitahu kalau guru itu yang akan mengurus semuanya. Aku hanya perlu diam dan berpura-pura menyelesaikan segalanya. Berdamai, memberi kompensasi dan selesai. Tapi aku sangat terkejut ketika melihatmu di sana," ceritanya.
"Ini bukan pertama kalinya?"
"Ini pertama kalinya dengan adik kelas. Mungkin sudah empat atau lima kali? Aku diminta datang karena perkelahiannya."
"Apa dia merundung mereka?" tanya Jiyong.
"Tidak," Sandara menggeleng. Wonyoung tidak merundung siapapun, ia hanya menantang banyak anak untuk berkelahi dengannya. Mereka yang tidak setuju dengannya, mereka yang menuduhnya berbohong, Wonyoung menyerang mereka semua dan berkelahi dengannya. Mungkin itu sebabnya ia bermain dengan juniornya, sebab teman-teman satu kelasnya, hampir semuanya pernah ia ajak bertengkar. "Wonyoung hampir tidak punya teman di sekolah," bisik Sandara. "Dia terlalu menyebalkan untuk diajak berteman," susulnya, tetap berbisik.
Jiyong mendengus. Sialnya ia setuju dengan pendapat Sandara. Semua akan lebih mudah baginya kalau Wonyoung merundung murid-murid lain. Kini Jiyong perlu memikirkan cara lain untuk membuat Wonyoung jera. Gadis itu terlalu sering berbohong, juga terlalu menyebalkan untuk bisa Jiyong maklumi. Beberapa detik selanjutnya, Jiyong mengeluh, mengatakan kalau kepalanya sakit karena kejadian barusan.
"Kita bicarakan lagi nanti, aku sudah punya janji lain sekarang," Jiyong berkata, mengakhiri pembicaraan mereka di depan gedung sekolah itu.
"Tapi, Jiyongie," Sandara menahan pria itu. "Siapa yang akan kau nikahi? Sungguhan kau akan menikah dengan ibu anak tadi? Siapa namanya? Yina? Siapa ibunya? Aku mengenalnya?" tanya Sandara. "Baru beberapa bulan sejak kau mengundurkan diri, kau sungguh akan menikah? Kenapa tidak memberitahuku? Kau sudah melupakan Lisa dan membuka hatimu untuk wanita lain?"
"Augh! Tidak tahu! Kepalaku pusing!" seru Jiyong, yang justru melangkah menjauhi wanita itu. Ia tiba-tiba saja gugup, merasa luar biasa canggung dengan kebohongannya. Bahkan meski status calon ayah tiri itu hanyalah kebohongan Yina, Jiyong tetap menyukainya. Dan ia malu mengakui rasa suka itu.
"Ya! Bodoh! Kau benar-benar sudah melupakannya kan?! Jangan terus memikirkan wanita yang meninggalkanmu!" seru Sandara. "Eh? Uhm... Tidak, dia tidak meninggalkanmu, kau saja yang terlalu lambat, dasar bodoh," gerutu Sandara, meralat sendiri seruannya, sementara yang ia ajak bicara sudah lebih dulu melangkah pergi.
Jiyong tiba di mobilnya beberapa menit kemudian. Namun Yina tidak ada di sana. Pria itu melihat sekelilingnya, mencari Yina yang membawa pergi kunci mobilnya. Begitu ia menemukan gadis itu, Yina tengah bicara dengan seorang pria. Seorang laki-laki dengan seragam sekolah yang sama, berdiri di tengah-tengah jalan keluar yang tentu sepi. Murid lainnya sudah lama pergi, meninggalkan sekolah untuk pergi ke tempat bimbel masing-masing.
Kim Taehyung—siswa senior yang tengah Yina ajak bicara. "Kalau oppa tidak mau membantuku, aku pun tidak mau membantumu lagi. Aku tidak mau menjaga rahasiamu lagi. Adikmu pasti senang kalau aku memberitahu orang-orang tentang hubungan kalian," Yina berkata sembari menatap pria di depannya. "Lalice... Suka sekali kalau kalian berdua jadi bahan omongan. Lagi pula, kalian hanya saudara tiri. Apa salahnya kalau berkencan? Harusnya itu tidak jadi masalah... Kecuali dia hamil. Ibunya pasti marah besar kalau itu terjadi," susulnya.
"Kau sedang mengancamku?" Taehyung menjawab, namun Yina hanya menggelengkan kepalanya.
"Apa kau merasa terancam, oppa?" gadis itu balas bertanya. "Harusnya tidak... Dari pada aku, adikmu jelas lebih mengancam. Tapi sebagai orang yang sedang sama-sama terpojok, bukankah kita perlu saling membantu?"
"Minta bantuan pada teman-temanmu, kenapa memintaku?"
"Karena mereka akan langsung mengikutimu begitu kau memulai membantuku," santai Yina, yang kemudian menoleh pada Jiyong, sadar kalau pria itu mencarinya. "Aku tunggu keputusanmu sampai besok!" serunya, yang kemudian berlari kecil meninggalkan pria itu. Menghampiri Jiyong yang sudah menunggunya dengan raut sebal.
Tiba di mobil, Yina duduk di sebelah Jiyong yang mengemudi. Meraka punya janji dengan Song Mino sekarang, Jiyong sudah berjanji akan mengenalkan Yina pada pria itu dan ia pun sudah membuat janji temu dengannya. Dalam perjalanan, Jiyong sesekali melirik Yina, mencari kata yang tepat untuk memulai pembicaraan.
"Yang tadi itu kekasihmu?" Jiyong bertanya, pada akhirnya menyerah dengan pilihan katanya. Yina bukan Wonyoung yang akan marah hanya karena ia salah memilih kata yang tepat untuk bertanya.
"Bukan," santai gadis itu, sesuai yang Jiyong harapkan. "Dia berkencan dengan Lalice, temanku. Sebenarnya namanya Lalisa, tapi canggung menyebutnya begitu, seperti aku sedang memanggil ibuku sendiri," katanya.
"Ah... Lalu apa yang kalian bicarakan? Lalice? Tugas sekolah?"
"Tentu saja Wonyoung. Dia akan jadi ketua dombaku," jawab Yina. "Paman tahu? Kalau domba-domba selalu berkelompok dan hanya akan mengikuti ketua kelompoknya? Sekolah juga begitu. Begitu ketua kelompoknya membantuku, anak-anak lain pun akan membantuku."
"Bagaimana dia akan membantumu?"
"Memberi keberanian?" jawab Yina, sedikit bingung dengan pilihan katanya sendiri. "Ada anak-anak yang merekam cerita Wonyoung dan membagikannya ke grup kelas. Kelasku. Tapi, anak-anak itu tidak akan berani mengaku memiliki rekamannya dan membantuku. Mereka pasti takut Wonyoung akan memusuhi mereka. Terlebih, mereka butuh guru konseling untuk mengisi formulir kuliah. Tapi, begitu pria tadi membantuku, adiknya pasti tidak mau kalah. Adiknya itu sedikit lebih kejam daripada Wonyoung, karena dia jauh lebih cerdas daripada Wonyoung. Teman-temanku yang lain, akan ikut membantuku kalau kakak beradik itu membantuku."
"Dan adiknya itu..."
Yup! Lalice," angguk Yina. "Mereka saudara tiri, bukan hubungan sedarah."
"Tapi kenapa kau tidak meminta langsung pada Lalice? Kau bisa langsung meminta bantuannya."
"Sayang sekali, aku bukan siapa-siapa untuknya. Membantuku tidak akan membuatnya senang. Aku hanya beberapa kali mencucikan pakaian kakaknya... Lalu menemukan kondom bekas di antara cuciannya. Bukan pengalaman yang bisa aku banggakan, cenderung menjijikan," oceh Yina, seolah ia tengah bercerita pada ibunya, seperti bagaimana ia biasa menghabiskan waktunya selama ini. Rasanya sedikit menyenangkan, punya dua orang yang selalu penasaran dengan akhir dari ceritanya setiap hari.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Introducing Me (New Version)
FanfictionAku si itik buruk rupa yang ditinggalkan ibuku. Aku melihatnya bertengkar kala itu, marah dan memukul pria di depannya, laki-laki yang aku pikir ayahku, tapi tidak pernah sudi aku panggil begitu. Keesokan harinya, setelah pertengkaran hebat, ia memb...