***
Ia menggambar sebuah rumah di atas kanvasnya. Rumahnya berwarna kuning pastel, cerah dan lembut, dengan atap merah muda yang sama lembutnya. Pintunya diwarnai biru, dibuat bertekstur bak kayu. Pintunya dibuat tidak tertutup, ada celah untuk seekor itik abu-abu di sana. Sebuah pohon hangus tumbuh tinggi di sebelah rumah itu, dan satu sisi rumahnya runtuh. Dindingnya runtuh, dengan batu bata yang digambar berceceran di tanah.
Bersama ceceran batu bata itu, not balok di gambar. Ada lembar-lembar hitam putih yang mirip seperti lembar film polaroid berterbangan di atas reruntuhannya, kemudian dibuat genangan merah darah di bagian bawahnya. Langitnya dibuat hitam, dengan beberapa bintang jatuhnya. Mino berdiri di belakang Yina, memperhatikan lukisan yang gadis itu buat selama beberapa minggu terakhir ini.
"Apa yang kau gambar?" tanya Mino, menyerah untuk menebak-nebak.
"Ibuku," jawabnya, tanpa berpaling. Masih sibuk menggambar bulu-bulu itiknya dengan kuas kecil di tangannya.
"Ibumu adalah rumah?" tanyanya kemudian dan Yina mengangguk.
"Hm... Dia rumah untuk si itik buruk rupa," katanya. "Tapi, kedatangan itik itu membuat seorang pencuri masuk ke dalam dan mencuri banyak hal darinya. Membuat sebagian dari dirinya hancur, berantakan, berdarah. Juga membuat mimpinya, yang ingin jadi bintang, jatuh ke tanah. Hari saat itik itu datang lalu masuk ke dalam rumah, membuat pohon di sebelahnya mati, membuat bintang-bintang jatuh, membuat banyak hal dicuri darinya. Nasib rumah itu... malang sekali," susulnya.
"Tapi dia tetap berwarna sangat cerah," komentar Mino dan Yina menoleh padanya, tersenyum kemudian menganggukan kepalanya. Senang karena Mino menyadari pesan dalam lukisannya. "Dan itik buruk rupanya juga tumbuh jadi angsa yang cantik, kau harus menggambar episode selanjutnya juga," susul Mino, sengaja mengusap puncak kepala Yina, lantas melangkah menjauh, pergi ke kanvasnya sendiri.
"Paman," Yina berhenti dengan lukisannya. "Sepertinya aku tidak akan datang untuk beberapa minggu," katanya, membuat Mino yang akan mulai melukis, bergerak dengan kursinya, menghindari kanvas yang menghalangi mereka agar ia bisa melihat gadis itu bicara.
"Kenapa?" tanyanya.
"Aku akan pergi ke rumah ibu kandungku," jawab Yina, membuat Mino menaikan alisnya. "Paman tidak berfikir aku putri ibuku kan? Maksudku, Lisa, temanmu," tanya Yina dan Mino tetap menunjukkan raut bingungnya. Tidak pernah ia tahu, bagaimana ia harus merespon situasi seperti sekarang. "Lisa itu Bibiku, tapi di kartu keluarga aku ditulis sebagai adiknya. Ibu kandungku, kakaknya, namanya Irene," santai Yina. "Aku pikir Paman Jiyong sudah memberitahumu," gumamnya sedang Mino masih mencerna cerita itu.
Yina kemudian memutar kanvasnya, menunjukan gambar rumah yang tadi ia buat. "Ini ibuku, Lisa," ucapnya sembari menunjuk gambar rumah dalam kanvasnya. "Ini aku," susulnya, kali ini menunjuk seekor itik kelabu di sana. "Dan semua yang rusak di gambar ini, apa yang ibu kandungku curi dari ibuku. Paman mau tahu siapa ibu kandungku? Cobalah untuk mencari Bae Irene di internet, lalu kau akan tahu siapa ibu kandungku," jelasnya, masih dengan nada bicaranya yang amat santai.
"Kau sudah menemukan ibu kandungmu dan sekarang akan pergi bersamanya? Apa ini sebuah happy ending?" tanya Mino, sebab Yina tidak terlihat amat senang.
Gadis itu menggeleng. "Ibu kandungku ingin aku dan ibuku pergi dari sini. Dia bilang, dia akan mengirimku ke London begitu aku lulus sekolah nanti. Dia juga bilang, ibuku boleh ikut, dia akan membayar semua biayanya. Tapi kalau ibuku ikut, Paman Jiyong akan sendirian. Jadi aku tidak akan mengajak ibuku," cerita Yina, dan Mino perlu waktu lebih lama untuk mencernanya. Istilah ibuku dan ibu kandungku membuatnya sedikit bingung.
"Kau ingin pergi?" Mino akhirnya bertanya dan sekali lagi Yina menggelengkan kepalanya.
"Sebenarnya tidak, tapi kemarin ibu kandungku bilang... Kalau hidupku dan hidup ibuku akan hancur jika aku terus disini. Dia bilang kalau ayah kandungku masih hidup dan aku mungkin akan hancur kalau bertemu dengannya. Ibuku mungkin akan lebih dulu hancur kalau aku bertemu dengan ayah kandungku," cerita Yina. "Ibu kandungku bilang, ia hampir menikah dengan ayah kandungku. Dia tinggal bersama ayah kandungku sepanjang masa kehamilannya, sampai aku lahir. Dia tidak diizinkan untuk keluar sepanjang mengandungku. Mereka menunda pernikahan sampai aku lahir dan tubuh ibuku kembali cantik. Ibu kandungku bilang, kalau nenekku dari pihak ayah sangat mengerikan. Dia membawaku kabur dari rumah karena wanita itu. Katanya, kalau wanita itu menemukanku juga ibuku, wanita itu akan menyiksa kami, seperti dia menyiksa ibu kandungku," katanya, jelas membingungkan Mino.
"Ibu kandungmu bernama Irene, kan?" tanya Mino dan Yina mengangguk. "Irene bilang kau dan Lisa akan hancur karena mantan-calon ibu mertuanya, begitu?" tanyanya sekali lagi dan Yina juga mengangguk, sekali lagi. "Bagaimana? Bagaimana mantan-calon ibu mertuanya itu menghancurkan kalian?" lagi-lagi Mino bertanya namun kali ini Yina mengangkat bahunya, ia pun tidak tahu.
"Irene bilang, kalau nenekku dari pihak ayah itu jahat sekali. Seperti penyihir. Dia dimarahi sepanjang hari, lalu aku direbut olehnya. Ini cucuku, jangan menyentuhnya dengan tangan menjijikanmu—Irene merasa ia ditatap begitu sepanjang hari. Karena itu dia membawaku pergi dari sana. Melarikan diri. Kami sempat tinggal bersama untuk beberapa tahun, tapi ternyata menjadi ibu tunggal juga sama beratnya seperti tinggal di rumah mantan-calon mertuanya. Karena itu dia meninggalkanku di rumah yang sampai sekarang aku tinggali," Yina terus menceritakan kisah hidupnya. "Sebenarnya aku ingin bertemu dengannya, ayah kandungku atau nenekku dari pihak ayah. Mendengar cerita ibu kandungku, nenekku itu kelihatan menyayangiku. Tapi... Aku tidak ingin menghancurkan hidup ibuku, maksudku Lisa, bibiku. Bibiku sedang sangat bahagia sekarang, karena pernikahannya. Aku tidak tega menghancurkan hidupnya sekali lagi," ujarnya, sembari mengulas sebuah senyuman, yang justru terasa lebih menyedihkan bagi Mino.
"Aku ingin ikut ibu kandungku, lalu membuatnya kesulitan. Dia bilang dia tidak bisa jadi ibu tunggal, dia bilang hidup berdua denganku benar-benar sulit, tapi Bibiku yang saat itu masih delapan belas, belum lulus sekolah menengah, nyatanya bisa menjadi ibuku. Dasar tidak tahu malu, dia berlaga jadi yang paling menyedihkan, hanya karena ibuku tidak mengeluh sepertinya," gerutu Yina kemudian. "Aku akan tinggal bersamanya dan membuatnya kesulitan. Aku ragu dia bisa bertahan denganku sampai dua minggu tapi untuk berjaga-jaga aku mungkin tidak akan bisa ke sini selama dua minggu itu, tidak apa-apa kan?" tanya Yina dan Mino menganggukan kepalanya.
"Hm... Datanglah lagi, kalau urusanmu sudah selesai," angguk Mino. "Tapi Yina-ya... Bagaimana kau bisa tetap tenang? Menceritakan semua itu tidak membuatmu bersedih?" tanyanya penasaran.
"Aku pun tidak tahu," geleng gadis itu, lagi. "Aku sedih, tapi rasa itu tidak bertahan lama. Setelah bangun tidur, aku tidak sedih lagi," katanya. "Seumur hidupku, aku tidak pernah iri pada mereka yang tinggal bersama orangtua kandungnya. Aku tidak pernah iri pada mereka yang punya ayah dan ibu, pada mereka yang lebih kaya dariku. Aku puas dengan apa yang aku punya. Paman Jiyong bilang, itu karena aku mendapat jauh lebih banyak daripada yang aku harapkan. Dia bilang, aku begitu karena ibuku—maksudnya Lisa—adalah ibu yang baik. Tapi aku tidak merasa begitu. Apa ada seorang ibu baik yang memberitahu anaknya tentang semua masalahnya? Apa ada seorang ibu yang memberi makan putrinya keripik kentang hanya karena dia ingin keripik kentang? Atau meminum setengah susu cokelat putrinya? Apa ada ibu baik yang mengajari anaknya dengan lagu-lagu hip hop berlirik vulgar? Aku ragu dia ibu yang baik, tapi aku menyukainya. Aku tidak punya alasan tidak menyukainya. Bahkan semua tingkah anehnya, aku menyukainya."
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Introducing Me (New Version)
FanfictionAku si itik buruk rupa yang ditinggalkan ibuku. Aku melihatnya bertengkar kala itu, marah dan memukul pria di depannya, laki-laki yang aku pikir ayahku, tapi tidak pernah sudi aku panggil begitu. Keesokan harinya, setelah pertengkaran hebat, ia memb...