***
Sudah lama sejak terakhir kali Jiyong merasakan jantungnya berdebar sekeras ini. Rasanya ia ingin berteriak, menyuruh jantungnya untuk berhenti berdetak, namun mulutnya tidak sudi bekerja sama. Sebab diam-diam, ia menikmatinya. Debaran itu terasa menyenangkan dan ia menyukainya.
"Aku ingat suaranya sekarang," Kwon Jiyong begitu menyukainya. Seketika ia melupakan semua masalahnya. Rasa marah, kesal, bosan, semua yang menghantuinya sampai beberapa menit lalu, tiba-tiba saja lenyap dari kepalanya. Pesan-pesan kebencian yang dilontarkan padanya, kini justru terdengar lucu. Segala masalah, seolah selesai begitu saja.
Ah... Rasanya ia sudah benar-benar gila sekarang. Ia yang sebelumnya tidak bisa menjelaskan perasaan lewat ekspresi, kini tidak bisa berhenti tersenyum. Sepanjang malam Jiyong tersenyum, bahkan ketika teman-temannya menelepon, mengajaknya untuk merayakan sebuah pesta perpisahan kecil. Rekan-rekan kerjanya senang, sebab merasa mereka telah berhasil menghibur si pria yang baru saja memutuskan untuk menganggur itu. Berhasil menghibur Kwon Jiyong yang berhenti bekerja, dan baru saja resmi jadi pengangguran.
Sepanjang malam Jiyong berpesta. Tertawa, bernyanyi bersama teman-temannya. Menikmati malam paling bahagia dalam hidupnya—merayakan pertemuannya kembali dengan gadis itu. Terjaga selanjang malam anehnya tidak membuat ia lelah. Bersenang-senang sepanjang malam, justru tidak membuatnya mengantuk hari ini. Ia merasa ada yang salah dengan dirinya, euforia atas pertemuan yang amat singkat itu tidak juga habis. Namun sekali lagi, Kwon Jiyong menyukainya. Ia luar biasa senang, meski disaat yang sama, ia pun merasa tersesat. Terperangkap dalam labirin gula kapas merah muda yang amat manis.
"Jadi oppa bertemu dengannya lagi? Sungguhan?" Jennie bertanya, setelah lewat tengah malam dan mereka melangkah bersama rombongan lainnya untuk pergi minum-minum di bar lain. Ronde dua untuk pesta malam ini, dan setelah menenggak banyak bir juga soju, Jiyong akan mentraktir semua orang itu whiskey mahal.
"Ya," Jiyong mengangguk, dengan kedua tangan yang ia simpan di dalam sakunya. Membiarkan bahunya di rangkul seorang pria di sebelah kirinya, sedang Jennie ada di kanan, berjalan dengan kakinya sendiri juga dengan tangan yang disimpan dalam saku. "Aku tidak sengaja bertemu dengannya dan dia jadi sangat cantik," katanya. "Kau ingat senyum kekanakannya dulu, kan? Dia seperti seorang anak kecil yang selalu senang-"
"Aku ingat dia bermain dengan kucing liar di gang sepi. Aku pikir dia menangis di sana karena nilai ujiannya di sekolah. Ternyata dia sedang bermain, tertawa dengan kucing-kucing," potong Jennie. "Kenapa yang aku ingat darinya, hanya tingkah konyolnya?" heran Jennie kemudian.
"Saat melihatnya tadi... Kesan itu masih ada," kata Jiyong. "Tapi di saat yang sama, ia juga terlihat begitu dewasa. Cantik, mempesona, seolah ada sinar yang sangat terang di sekitarnya, aku tidak bisa berhenti menatapnya. Hanya dia yang bisa aku lihat. Dia begitu spesial, sampai aku tidak bisa mempercayai apa yang sudah ku lihat."
"Oppa sangat menyukainya?"
"Sepertinya begitu."
"Sedari dulu?"
"Aku rasa begitu."
"Tapi kenapa baru mengakuinya sekarang?" Jennie bertanya, kali ini sembari menoleh menatap dua pria yang berjalan di sebelahnya secara bergantian—Kwon Jiyong dan temannya Choi Seunghyun. Dua pria yang Jennie kenal tidak pernah berkencan seumur hidupnya.
"Apa yang bisa dia akui? Gadis itu bahkan tidak ada, sebelum malam ini," Choi Seunghyun yang sudah cukup mabuk berkomentar. "Aku bahkan baru tahu kalau Lalisa Kim itu manusia sungguhan. Aku tidak ingat pernah mengenal seseorang dengan nama itu," susulnya, membuat Jennie mendengus, merutuki pria pelupa itu. Pria yang bahkan tidak ingat kalau Jennie pernah menyukainya, pernah juga menyatakan perasaannya namun ditolak. "Aku pikir orang yang selama ini jadi inspirasimu itu hanya teman khayalanmu," susulnya, terus merangkul Jiyong, menumpukan berat tubuhnya pada pria kurus itu. Jiyong akan mengeluh—biasanya—namun rasa senang membuatnya kuat memapah langkah Choi Seunghyun yang jauh lebih besar darinya. Lebih berotot darinya.
"Aku merasa diriku menjijikan kalau mengencaninya dulu," Jiyong tiba-tiba mengaku. Jiyong sudah dua puluh tahun ketika ia pertama kali menyukai gadis itu, sedang gadis itu baru saja merayakan ulangtahunnya yang ke enam belas. "Dia masih sangat muda, ketika itu," katanya.
"Usiaku tiga puluh tiga- dia sudah tiga puluh dua tahun sekarang. Oppa tidak merasa menjijikan lagi, kan? Kalau begitu nyatakan perasaanmu sekarang!" dukung Jennie. "Hei, aku sudah menyukaimu sejak belasan tahun lalu, aku tidak bisa berkencan dengan siapapun karemamu, jadi bertanggung jawablah! Bilang begitu padanya," suruh Jennie.
"Gila," Choi Seunghyun berkomentar. "Aku akan langsung kabur kalau diperlakukan begitu," susulnya. Ya, Jennie pernah mengatakan itu padanya dan ia benar-benar kabur setelahnya. Choi Seunghyun pernah melarikan diri karena ia tidak ingin bertanggung jawab atas perasaan yang Jennie punya terhadapnya, dan sialnya, hanya Jennie yang mengingat penolakan itu. Seunghyun sama sekali tidak pernah menyinggung tentang masalah itu sekarang, ia sudah melupakannya.
Jiyong tidak peduli dengan keributan di sekitarnya. Perdebatan antara Choi Seunghyun dan Jennie Kim malam ini, tidak lah penting baginya. Namun begitu pagi datang dan ia membuka matanya, rasa pengar yang harusnga datang ternyata mangkir. Alih-alih pening dengan perut bergejolak karena semua alkohol yang ia tenggak semalam, dirinya justru merasa begitu bersemangat.
Masih duduk di atas ranjangnya, ia menatap ke sekeliling apartemen studio yang ditinggalinya. Hanya sebuah hunian satu ruangan dengan satu kamar mandi. Tidak ada yang menarik di sana, selain seekor ikan peliharaannya, juga beberapa pot tanaman di balkon. Kwon Jiyong melangkah ke balkon, menyapa tanaman-tanamannya di sana, menggunting beberapa helai daun yang kuning. Lalu sembari tersenyum, ia hampiri juga ikannya, menyapa ikan itu kemudian memberinya sedikit sarapan. Baru setelah itu, ia kembali duduk di sofanya, mengecek handphonenya. Ada puluhan pesan dari Jennie, yang isinya hanyalah foto-foto pesta mereka semalam.
Jiyong tidak biasanya membuka pesan-pesan itu. Hampir tidak pernah ia unduh foto-foto yang temannya kirim. Namun hari ini, ia lihat foto-foto mereka semalam, lantas menertawakannya. Tidak pernah dirasakannya hari yang begitu bahagia seperti pagi ini. Bahkan ketika lagunya mendapat banyak penghargaan, ia tidak pernah sesenang ini.
Semua kebahagiaan itu terasa menyenangkan, menggelitik dadanya, membuatnya tidak bisa tersenyum. Sampai dilihatnya sebuah pesan yang tidak ia duga sebelumnya. "Ya, aku senggang hari ini. Kita bisa bertemu, jam berapa? Dimana?" tulis Lisa dalam pesannya.
Jiyong menatap layar handphonenya lekat-lekat. Saat itu masih pukul tujuh dan ia belum mengirim pesan apapun seharian ini. Bahkan dalam kotak percakapan itu, tidak ia lihat pesan yang dikirimnya. Satu-satunya log hubungan mereka, hanya telepon Yina kemarin.
"Boleh aku yang menentukan tempatnya?" sekali lagi Lisa mengiriminya pesan, mengganggu Jiyong yang masih berusaha mengingat-ingat kejadian semalam.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Introducing Me (New Version)
FanfictionAku si itik buruk rupa yang ditinggalkan ibuku. Aku melihatnya bertengkar kala itu, marah dan memukul pria di depannya, laki-laki yang aku pikir ayahku, tapi tidak pernah sudi aku panggil begitu. Keesokan harinya, setelah pertengkaran hebat, ia memb...