***
Setelah memberitahu Bibi Oh kalau ia membocorkan rahasia mereka. Ia menulis sebuah pesan berisi—Bibi Oh, maafkan aku, aku tidak bisa merahasiakannya lagi. Aku memberitahu Yina yang sebenarnya dan sekarang kami dalam perjalanan ke rumahmu, Yina ingin sekali bertemu dengan ayahnya—lalu mengirimnya pada Bibi Oh. Tentu wanita paruh baya itu sempat terkejut dan berkali-kali menelepon Lisa. Namun orang yang ia telepon, sengaja mengabaikan panggilannya.
Lisa mematikan suara handphonenya, memasangnya dalam mode senyap, lantas menyiapkan sarapan seperti biasanya. Jiyong bangun lebih awal hari ini, langsung menghampirinya ke dapur, lalu memeluknya. "Rasanya sepi sekali tidur sendirian," keluh Jiyong, yang beberapa bulan terakhir ini tidak pernah lagi tidur seorang diri. "Sepertinya waktu itu aku bukan terjaga karena memikirkan Yina, tapi karena kau tidak tidur denganku. Semalam aku tidak bisa tidur juga," akunya, terus memeluk istrinya.
"Oh ya? Oppa tidur saat aku masuk ke sana dan memelukmu," santai Lisa, tetap berdiri menyiapkan sarapan mereka, namun membiarkan Jiyong memeluknya, juga membiarkan pria itu mencium pipinya.
"Oh ya? Aku pikir itu mimpi," jawabnya, tidak kalah santai. "Cium aku lagi, seperti tadi," pintanya dan Lisa menurutinya, menoleh kemudian mencium pipi suaminya, beberapa kali.
Selanjutnya Lisa melepaskan pelukan itu, menyuruh Jiyong untuk duduk di meja makan sebab ia akan mulai menyalakan kompornya. Semua bahan untuk membuat sarapannya sudah siap, ia hanya perlu menumis mereka dan menaruhnya di atas piring, kemudian menghangatkan juga beberapa lauk lain yang kemarin di belinya dari restoran.
Jiyong menurut. Ia duduk di meja makan, sembari memperhatikan istrinya memasak. Terus tersenyum, menunjukan betapa ia menyukai wanita itu. Sampai seseorang menginterupsi mereka. Yina muncul dari kamarnya, berjalan masih sembari memejamkan matanya ke dapur, menabrak rak Betta, hampir menjatuhkan ikan malang itu dari singgasananya, namun dengan cepat memeganginya lagi. Yina belum benar-benar bangun, namun alarm sudah berbunyi, menyuruhnya bersiap untuk pergi ke sekolah.
"Eomma, Paman, jangan lupa datang ke sekolahku dua hari lagi," ucapnya. "Konsultasi karir- akh! Siapa yang menutup pintu kamar mandi?!" katanya, berseru sebab dahinya baru saja menabrak pintu kamar mandi yang tertutup. Lisa dan Yina terbiasa membiarkan pintu kamar mandi itu terbuka setelah dipakai, namun Jiyong terbiasa melakukan hal sebaliknya. Begitu juga dengan pintu kamar. Jiyong terbiasa menutup semua pintu yang baru saja ia lewati. Sedang Lisa dan Yina terbiasa membiarkan semuanya terbuka.
Jiyong terkekeh melihatnya, lantas menoleh pada Lisa. "Boleh aku ikut ke sekolah kan?" tanyanya dan Lisa mengangguk. Tidak ada yang melarang pria itu melakukan apa yang ingin dilakukannya.
"Kalau oppa ingin datang sendirian, aku juga tidak keberatan," santai Lisa. "Sekolah membuatku mengantuk," katanya.
"Tidak apa-apa, datang saja, kau cantik saat tidur," balas Jiyong.
Yina keluar dari kamar mandi setelah ia membasuh wajahnya, juga menyikat gigi dan mencuci rambutnya. Gadis itu belum mandi, ia masih mencicil mandi paginya. Ia duduk di sebelah Jiyong kemudian menyandarkan kepalanya ke bahu pria itu. "Paman, aku akan bertemu ayahku hari ini," kata Yina. "Lalu semalam aku bermimpi buruk, melihat Irene mengamuk dan menghancurkan binatu di bawah. Dalam mimpiku, eomma hanya menonton sambil tertawa dan makan popcorn, aneh sekali," ceritanya.
"Aku? Diam saja melihat seseorang merusak binatuku? Wah... Itu mustahil," komentar Lisa, yang kemudian menyajikan sarapannya, sembari menggeser kepala Yina agar tidak bersandar pada Jiyong. "Bahunya terkilir kemarin," ucap Lisa, meski Jiyong diam saja.
"Sungguh? Kenapa?" tanya Yina, yang kemudian menusuk-nusuk bahu Jiyong dengan jarinya. "Sakit?"
"Sakit," jawab Jiyong, tanpa merubah reaksinya.
"Kenapa bisa terkilir?" tanya Yina sekali lagi.
"Aku pun tidak tahu, dia tidak mau memberitahuku," kata Lisa. "Kenapa bahumu terkilir?" susulnya, ikut bertanya.
"Karena sesuatu-"
"Heish... Pasti karena sesuatu yang memalukan. Karena itu Paman tidak mau bilang," santai Yina kemudian. "Aku pikir karena kalian bersetubuh- oh shit! Aku mengingatnya lagi! Aaaa! Aku tidak bisa hidup dengan trauma ini!" seru Yina, yang langsung bangkit, pergi ke kamarnya. Tanpa menutup pintunya, gadis itu mencari handphonenya. Membuka sebuah video di sana kemudian mengatur nafasnya. Ia melakukan banyak cara untuk melupakan kenangan buruk itu, termasuk mengikuti tutorial di YouTube—cara ampuh melupakan tragedi buruk, meditasi.
"Apa kita harus membayar terapis untuknya?" heran Jiyong kemudian.
"Biar saja," santai Lisa. "Setidaknya sampai lulus sekolah nanti, dia akan takut melakukannya. Aku sempat resah karena masalah itu, sudah dianggap biasa oleh teman-temannya. Dengan begini, aku bisa tenang setidaknya beberapa bulan ke depan."
"Kau resah dan membelikannya kondom? Kau harusnya bilang—jangan pernah melakukannya, Yina—bukan begitu?"
"Oppa pikir dia bisa dilarang?" balas Lisa. "Aku mengajarinya untuk sedikit membangkang, dan... Aku sedikit menyesalinya," katanya dengan bahu terangkat. Ia hanya asal bicara, tidak benar-benar menyesal.
Lima belas menit Yina mengatur nafasnya di kamar. Bermeditasi dengan bantuan video dari YouTube. Gadis itu keluar, duduk di meja makan untuk menikmati sarapannya. "Aku sudah tenang sekarang," katanya membuat laporan.
Jiyong hanya terkekeh, sedang Lisa menggelengkan kepalanya, menaruh lauk di atas mangkuk putrinya agar gadis itu cepat menghabiskan sarapannya. "Aku tidak pergi ke sekolah hari ini, aku mau bertemu ayah kandungku," kata Yina, yang segera Lisa iyakan. Berkata juga kalau ia sudah menghubungi ayah kandung Yina agar menunggu mereka datang nanti.
"Tapi eomma, wanita itu bilang, ayah kandungku payah dan nenekku jahat," tanya Yina.
"Sejahat apa?" Jiyong bertanya.
"Dia melarangnya minum bir, melarangnya tidur, menyuruhnya terus bergerak padahal ia sudah lelah. Lalu menyuruhnya terus mengajakku bicara padahal aku tidak mengerti apapun, dia terus dimarahi, dia tidak bahagia jadi dia pergi, melarikan diri dan membawaku bersamanya. Dia sudah berkali-kali mengancam akan melarikan diri, tapi nenekku tidak peduli. Nenekku bilang—pergi saja tapi tinggalkan bayi itu di sini, kau tidak akan bisa merawatnya—dia membuat wanita itu trauma, aku rasa," cerita Yina. "Bagaimana kalau nenekku tidak menyukaiku?"
"Kenapa dia tidak menyukaimu? Kau pintar," santai Lisa. "Aku yakin dia akan menyukaimu, Irene hanya bersikap berlebihan. Mungkin karena dia hamil dan semacamnya? Aku tidak pernah mengalaminya," susulnya.
"Ibu hamil memang tidak boleh minum bir, bahkan kopi dan teh perlu dikurangi. Bisa mempengaruhi bayinya. Lalu mengajak bicara bayi bisa membantu bayi untuk cepat bicara, bisa membuat anak jadi pintar-"
"Bagaimana oppa tahu?" Lisa menyela ucapan Jiyong, dengan mulut yang penuh makanan. Sepertinya topik sarapan pagi mereka hari ini lebih berbobot daripada biasanya.
"Paman sudah mencaritahu tentang itu? Bersiap? Sebelum aku punya adik? Atau sepupu? Keponakan? Bagaimana aku harus memanggilnya nanti?" tebak Yina, membuat Jiyong lantas tersedak supnya sendiri.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Introducing Me (New Version)
FanfictionAku si itik buruk rupa yang ditinggalkan ibuku. Aku melihatnya bertengkar kala itu, marah dan memukul pria di depannya, laki-laki yang aku pikir ayahku, tapi tidak pernah sudi aku panggil begitu. Keesokan harinya, setelah pertengkaran hebat, ia memb...
