抖阴社区

40

383 79 5
                                    

***

Lisa merasakan tangannya berkeringat. Namun Jiyong seolah tidak keberatan. Pria itu terus menggenggam tangannya, menenaminya melangkah di sepanjang trotoar. Ia tidak mengatakan apapun, karenanya Lisa pun sama. Dalam diam mereka melangkah, terus maju tanpa tahu kemana tujuan mereka. Lisa terus menghela nafasnya, seolah tengah mengeluh pada semesta tentang semua yang terjadi padanya. Tengah mengeluh atas hidup yang harus ia jalani.

Memasuki wilayah universitas di dekat sana, kaki Lisa terasa lelah. Maka ia tunjuk sebuah bangku taman berbahan besi, mengajak Jiyong untuk duduk di sana. "Rasanya aku tidak sanggup lagi," Lisa berucap sembari menyandarkan punggungnya ke bangku taman yang dingin itu. Tempatnya ada di bawah sebuah pohon rindang, sejuk dan nyaman. Cocok untuk berkencan, namun sayang Lisa tidak berada dalam suasana hati yang mendukung romantisme itu.

"Ada aku-"

"Apa membunuh orang itu sulit?" potong Lisa, membuat Jiyong langsung menoleh, menatap Lisa heran. Sebenarnya apa yang gadis itu pikiran sekarang?—Jiyong merasa ia salah menilai situasinya. "Kenapa? Sulit?" ulang Lisa, balas menatap pria di sebelahnya.

"Aku pikir kau ingin menyerah, bunuh diri atau melarikan diri. Kau justru ingin membunuh?"

"Kenapa aku yang harus mati? Aku sudah banyak tersiksa karenanya, aku juga yang harus mati?" jawab Lisa, mengerucutkan bibirnya, menunjukan ketidak sukaannya. "Dia yang harusnya mati. Tersiksa sampai mati," sebal gadis, membuat Jiyong tidak bisa memutuskan perasaannya sekarang. Haruskah ia mengkhawatirkan Lisa? Atau justru mengkhawatirkan Irene? Siapa yang berada di posisi paling berbahaya sekarang?

"Oppa tahu? Apa yang ibuku katakan sebelum dia pergi?" tanya Lisa dan Jiyong menggelengkan tangannya. "Bagaimana pun, Irene tetap kakakmu. Jangan terlalu membencinya—begitu katanya. Tapi, tadi dia bilang padaku—pergilah ke London bersama eomma dan Yina—sepertinya dia tidak tahu kalau ibuku sudah meninggal, karenanya."

"Bagaimana bisa ada orang sepertinya?" heran Jiyong, yang akhirnya memakai sebelah tangannya yang bebas untuk memijat pelipisnya sendiri.

"Aku pun tidak tahu, bagaimana bisa orang sepertinya ternyata kakakku," heran Lisa. "Apa dia benar-benar kakakku? Aku harap kami lahir dari orangtua yang berbeda. Ingat kalau kami saudara, membuat kepalaku sakit sekali," susulnya.

"Mau aku antar ke rumahku? Agar kau bisa menangis?" tawar Jiyong dan Lisa menggelengkan kepalanya.

"Aku tidak ingin menangis sekarang. Aku ingin... Menghancurkannya, seperti balas dendam? Tapi dia ibu kandungnya Yina, aku tidak boleh melukainya. Yina bisa terluka juga," sekali lagi Lisa menghela nafasnya. "Kalau bukan karena Yina, aku mungkin sudah membunuhnya dan masuk penjara. Bajingan itu beruntung karena putrinya," oceh Lisa, tidak bisa berhenti membenci Irene.

Lama mereka duduk, dan Jiyong terus menggenggam jemari Lisa. Memeganginya, seolah khawatir gadis itu akan melarikan diri, pergi membunuh kakaknya. Gadis itu pun tidak berusaha menarik tangannya, membiarkan miliknya terus dipegangi sedang tangannya sendiri, tidak balas menggenggam milik Jiyong.

"Oppa, aku tidak ingin pergi ke London," kata Lisa kemudian. "Juga ke New York," susulnya. Mengatakan kalau ia tidak ingin pergi kemana pun. Tidak ingin meninggalkan rumah masa kecilnya. Tidak ingin meninggalkan hasil kerja kerasnya. "Rumah dan binatu itu tidak seberapa, tapi aku memakai seluruh tenagaku untuk tetap di sana. Aku tidak ingin pergi," katanya.

"Kalau begitu tidak perlu pergi," tenang Jiyong, sengaja menepuk-nepuk punggung tangan Lisa, ingin menenangkannya.

"Tapi bagaimana kalau Irene mengusirku dari sana?" tanya Lisa. "Dia masih jadi putri ibuku, dia juga berhak mendapatkan warisannya," susul Lisa.

"Picik sekali kalau dia merebut warisan itu darimu. Setelah semua yang dilakukannya padamu," komentar Jiyong. "Dia bukan manusia kalau melakukannya, tidak tahu diri," cibirnya kemudian.

"Mungkin dia tidak butuh uangnya, tapi tadi dia kelihatan serius. Oppa dengar apa yang dikatakannya? Dia bilang—kenapa Yina bisa pergi dengan wanita itu?—oppa dengar?" tanya Lisa dan Jiyong menggelengkan kepalanya. "Hm... Dia bilang begitu saat mendorongku tadi. Aku yakin, aku tidak salah dengar. Tapi siapa wanita itu? Yang dia bicarakan? Aku tidak tahu. Aku tidak yakin dia berani menenui Yina. Apa mungkin ada yang tidak aku ketahui? Kenapa dia dan eommaku selalu menyembunyikan sesuatu dariku? Lalu membuatku harus menyelesaikan masalah mereka? Menjengkelkan. Harusnya aku yang keluar dari rumah lebih dulu," oceh Lisa.

Lisa mengeluh, menggerakan kakinya, menendang-nendang angin di depan sepatunya. Merengek kesal atas apa yang baru saja terjadi. Ia berhenti merengek, disaat sekelompok mahasiswa lewat di depannya. Melihat ke arah Lisa yang tiba-tiba berlaga keren kemudian berpaling lagi. Mereka pasti pasangan bertengkar—mungkin itu yang dipikirkan orang-orang lewat tadi, menilai Lisa juga Jiyong yang duduk di halaman kampus mereka tanpa tas, tanpa buku, tanpa laptop.

Dari sekelompok mahasiswa yang lewat itu, Lisa tidak sengaja mendengar obrolan mereka. "Aku tidak bisa pergi malam ini, suamiku melarangku pergi," seorang dari kelompok itu berkata, masuk ke telinga Lisa kemudian membuat gadis itu mendapatkan sebuah rencana. Lisa menoleh pada Jiyong, membuat pria itu balas menoleh padanya.

"Apa?" Jiyong bertanya, sama sekali tidak memperhatikan obrolan orang-orang di sekitarnya.

"Oppa, tawaranmu masih berlaku?" tanyanya kemudian. "Aku masih boleh menerima lamaranmu?" sekali lagi ia bertanya.

"Tiba-tiba?" bingung Jiyong, namun tidak terlihat sangat antusias seperti yang biasa Lisa lihat dalam drama. Ia tetap berdebar, meski rasa senang itu tidak menggebu-gebu.

Lisa tidak pernah benar-benar yakin dengan perasaannya. Sejak memberikan hidupnya untuk mengurus Yina, ia tidak lagi tahu bagaimana isi hatinya. Bahkan kali ini pun ia tetap meragukan perasaannya. Benarkah ia menyukai Jiyong? Ia rasa ia menyukai pria itu, menyayanginya, berterima kasih padanya. Apa semua rasa itu bisa disebut cinta? Lisa tidak pernah merasa yakin.

Orang bilang, ketika kau bertemu seseorang yang tepat, hatimu akan langsung tahu. Dirimu akan langsung tahu—ini dia orangnya—namun Lisa tidak pernah merasa begitu. Setiap keputusannya, ia ambil dengan keragu-raguan. Aku tidak yakin keputusanku benar, namun semisal keputusanku ternyata salah, aku pasti bisa mengatasinya—hanya itu yang bisa ia yakini setiap kali keadaan membuatnya harus mengambil keputusan. Begitu pun dengan sore ini.

"Kalau boleh, aku ingin menerima lamaranmu," kata Lisa.

"Kau ingin menikah denganku?"

"Ya, aku ingin menikah denganmu, tinggal bersamamu, di rumahku. Oppa tidak perlu membeli rumah baru. Aku akan menerimamu di rumahku. Akan aku berikan rumahku untukmu, semuanya, untukmu. Rumah, istri... Tapi soal anak... Uhm... Aku bisa mencicilnya, kan?"

"Dan yang kau inginkan dariku?"

"Aku ingin tetap tinggal di sini, tidak pergi kemanapun," jawabnya, terdengar begitu yakin.

"Bukan untuk balas dendam pada Irene?"

"Tidak," geleng Lisa. "Bukan balas dendam namanya kalau aku juga kehilangan banyak hal. Kalau aku juga rugi, kalau aku juga terluka, itu bukan balas dendam. Kalau aku memanfaatkanmu untuk balas dendam, lalu aku kehilanganmu, dendam apa yang sebenarnya baru aku balas? Aku tidak ingin balas dendam yang seperti itu."

***

Introducing Me (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang