***
Jiyong tiba di tempat tujuannya setelah memberitahu gadis tadi di mana letak toiletnya. Studio rekaman yang biasa ia pakai masih gelap sekarang, tidak seorang pun ada di sana hari ini. Hanya Jennie yang tadi sempat mampir, sempat merapikan barang-barang Jiyong, memasukannya ke dalam sebuah kotak karton berwarna cokelat. Barang-barangnya tidak banyak, namun ia butuh semua itu untuk melanjutkan hidupnya.
Di dalam studio gelap itu, Jiyong duduk. Menatap kosong pada layar komputer yang gelap dan memantulkan bayangannya. Dalam sepi, ia mengingat lagi kenangan-kenangan masa lalunya. Ia ingat dirinya yang dulu, masih jadi seorang asisten produser yang baru saja lulus sekolah menengah. Penampilannya masih sangat kampungan, dengan banyak jerawat dan wajah berminyak. Tubuhnya kurus kering, kelaparan. Ia selalu lapar ketika itu. Miskin dan menyedihkan.
Tidak pernah ia bayangkan dirinya yang super kampungan waktu itu akan memakai selembar jaket kulit seharga belasan juta sekarang. Ia berhasil merubah hidupnya, dari seorang anak laki-laki kurus yang ditinggalkan di panti asuhan, jadi seorang produser sukses dengan royalti yang terus mengalir ke dalam rekeningnya.
Dahulu, cita-citanya hanya membeli sebuah rumah dengan tiga kamar tidur, tinggal bersama istri juga dua anaknya. Punya sebuah keluarga yang dulu tidak dimilikinya, keluarga yang ketika itu membuatnya luar biasa iri. Namun seorang gadis membuatnya melupakan mimpi itu.
Gadis yang dengan senyum manisnya berkata, "aku tidak ingin menikah dan punya anak. Cita-citaku bukan menikah dan punya anak. Aku ingin berkerja, jadi kaya raya dan hidup bahagia."
Jiyong menyukai gadis itu. Sangat menyukainya. Seorang gadis kurus dengan seragam sekolah menengahnya yang kelihatan usang, terlihat lusuh. Ia memakai seragam sekolah bekas kakaknya, mengaku kalau ia tidak butuh seragam. "Aku hanya ke sekolah untuk absensiku. Satu atau dua kali seminggu karena aku lebih banyak tinggal di agensi. Karena aku akan debut sebentar lagi. Jadi aku tidak butuh seragam baru," begitu katanya, setiap kali anak-anak pelatihan lain bertanya alasannya memakai seragam kusam itu. Lalisa Kim, nama gadis yang luar biasa ceria, luar biasa percaya diri. Lalisa Kim, nama gadis yang ia sukai, sekaligus membuatnya merasa iri.
Kwon Jiyong iri akan rasa percaya diri yang selalu terpancar dari gadis itu. Kwon Jiyong iri akan keceriaan gadis itu. Kwon Jiyong iri akan tawanya, yang bisa kapan saja terdengar meski tidak ada lelucon yang benar-benar lucu. Namun di balik rasa iri itu, ia pun menyukainya. Sangat suka, hingga ia melupakan cita-citanya, menggantinya dengan cita-cita gadis itu.
Lama ia melamun, membayangkan wajah Lalisa Kim yang masih ia ingat dalam benaknya. Ia masih ingat bagaimana rupa gadis itu dengan seragam kusamnya. Ia masih ingat bagaimana rambut panjang gadis itu bergoyang ketika menari. Namun sayang, ia tidak lagi bisa mengingat bagaimana suaranya. Semua yang berputar dalam angannya, hanyalah sebuah rekaman bisu sekarang. Rekaman bisu yang perlahan-lahan memudar, membuatnya kehilangan semangat juga kewarasannya.
"Seumur hidupku, aku tidak pernah merasa seburuk ini," katanya setiap kali psikiaternya bertanya mengenai wanita itu. "Aku merindukannya tapi tidak tahu bagaimana harus mencarinya. Aku juga merasa tidak boleh mencarinya, karena aku rasa ini bukan lagi cinta, aku rasa ini obsesi. Aku terobsesi padanya, dan itu membuatku merasa sangat sakit," akunya di setiap sesi terapinya.
Lama ia melamun, dengan dada yang sesak. Sampai akhirnya, ia memaksakan dirinya untuk bangkit. Membawa barang-barangnya meninggalkan studio rekaman itu, akan pulang ke rumahnya. Namun diluar, ia kembali bertemu dengan gadis berseragam tadi—Yina Kim—begitu yang tertulis di seragamnya. Sebentar mereka bertukar tatap, lalu di dengarnya gadis itu meminta tolong. Meminta bantuannya untuk membukakan pintu lift.
Kwon Jiyong sedikit bingung setelah itu. Gadis yang ia bantu dihampiri petugas keamanan, diminta untuk mengikuti mereka pergi ke ruang keamanan di sudut lantai satu. Ia tidak melakukan apapun ketika itu, membiarkan gadis bernama Yina itu pergi dengan petugas keamanan, sedang dirinya kembali ke mobil. Ia sudah menyalakan mobilnya, akan pergi dari sana karena hari mulai gelap. Ia sudah mengemudi keluar dari gedung agensi itu, sudah melaju di jalan ramai namun hatinya merasa begitu resah.
Gadis bernama Yina itu, punya pesona yang sama dengan Lalisa yang dulu disukainya. Meski ia tidak mengenakan seragam yang telah usang, meski ia tidak tersenyum dan tertawa dengan begitu ceria, sosok gadis itu mengingatkannya pada Lalisa yang dahulu disukainya.
Rasa resah membawa Jiyong kembali ke gedung agensi itu. Membawanya pergi ke ruang keamanan, membebaskan gadis itu dari tuduhan dan candaan jahil teman-temannya. Setelah ia buka mulutnya di ruang keamanan itu, ia bisa membawa Yina keluar dari sana. Anak itu melangkah di belakangnya, mengekorinya di sepanjang lorong menuju pintu keluar.
Hari sudah malam ketika itu, membuat Jiyong sibuk menimbang-nimbang. Haruskah ia mengantar gadis itu pulang? Atau memanggilkan taksi untuknya? Atau membiarkannya pulang seorang diri? Ia terus menimbang-nimbang, sampai gadis itu memanggilnya, mengajaknya bicara.
"Uhm... Paman-" tegur gadis dengan seragam itu. Jiyong pikir ia akan berterima kasih, karenanya ia menyela suara gadis itu. Mengatakan kalau ia tidak ingin menerima ucapan terima kasih darinya. Sayang, mulutnya tidak bisa berhenti sampai di sana. Ia tidak hanya menolak ucapan terima kasih yang mungkin akan Yina katakan, ia juga mengomentari cara teman-teman Yina menjahilinya.
Anak perempuan yang memicu semua ingatannya akan masa lalu itu, bisa jadi penjahat sungguhan, jika saja Wonyoung dan teman-temannya sedikit lebih cerdas, sedikit lebih pintar. Anak-anak itu, bisa membuat jebakan yang lebih kompleks, lebih berbahaya, lebih merugikan, jika Yina terus menuruti mereka. Jiyong menganggap, kalau anak yang baru saja ia bawa keluar itu sepertinya adalah korban perundungan di sekolah. Seorang korban yang tidak bisa berbuat apapun meski dijahili teman-temannya.
"Sayangnya mereka tidak secerdas itu," Yina menyela, sama seperti yang produser itu lakukan sebelumnya. "Mereka membawa handphoneku pergi, agar aku tidak bisa menghubungi siapapun," susulnya, memberi sedikit informasi pada pria itu. "Tapi paman, aku tidak ingin berterima kasih tadi. Maksudku, terima kasih, karenamu aku bisa keluar dari sana lebih cepat, tapi... Maaf sebelumnya, aku tidak pandai mengenali seseorang... Apa kau produser GD? Yang menulis Let's Not Fall In Love?" tanya Yina, sedikit berlari agar ia bisa menyamai langkah cepat produser sibuk itu.
"Ya, tapi jangan menulis apapun, jangan juga mengunggah apapun tentang kejadian hari ini," tanpa ragu, Jiyong berkata. Ia baru saja disadarkan atas status sosialnya. Atas pekerjaannya yang begitu erat dengan media dan perbincangan orang lain.
"Wah... Sungguhan? Lalu, apa kau masih ingat Lalisa Kim?" tanya Yina, sukses menghentikan langkah pria itu. Jiyong berhenti. Membeku. Membisu. Bagaimana bisa, anak itu mengenal sebuah nama yang selama ini membuatnya kesakitan? Bagaimana bisa, anak itu menyebutkan nama itu di depannya?
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Introducing Me (New Version)
FanfictionAku si itik buruk rupa yang ditinggalkan ibuku. Aku melihatnya bertengkar kala itu, marah dan memukul pria di depannya, laki-laki yang aku pikir ayahku, tapi tidak pernah sudi aku panggil begitu. Keesokan harinya, setelah pertengkaran hebat, ia memb...