抖阴社区

15

443 86 3
                                    

***

Ini adalah hari yang lain dan di siang hari ini Lisa pergi ke universitas dekat rumahnya. Di langkahkan kakinya masuk ke sebuah gedung, mencari ruang dosen dengan nama Bibi Oh di pintunya. Mereka sudah mengatur janji, dan Lisa datang sesuai dengan janji itu. Sebentar gadis itu menunggu sekelompok mahasiswa yang sudah lebih dulu datang untuk beberapa tanda tangan. Ia duduk di bangku panjang, di depan ruangan sang dosen tua. Mengetuk-ngetukan sepatu ketsnya ke lantai, menunggu gilirannya untuk masuk.

Ia datang untuk membicarakan Yina. Meminta Bibi Oh agar tidak menghubungi Yina tanpa sepengetahuannya, juga meminta wanita itu untuk tidak memaksa Yina pergi bimbel. Beberapa menit Lisa menunggu, sampai akhirnya gilirannya untuk masuk datang. Ia masuk ke dalam ruang kerja sang dosen yang penuh buku, menutup pintunya kemudian duduk di depan mejanya.

"Jadi, kau sudah berhasil membujuknya?" Bibi Oh bertanya, sembari menutup bahan bacaannya, melepaskan kacamata bacanya untuk untuk memberi fokusnya pada Lisa.

"Ya," Lisa menganggukan kepalanya. "Yina tidak akan pergi bimbel," jawab Lisa. "Aku ingin mendaftarkannya ke tempat kursus melukis," tegas Lisa, terang-terangan menunjukan niatannya. Ia datang untuk memberitahu keputusannya, bukan untuk meminta saran wanita berpengalaman itu.

"Apa kau sudah gila?" Bibi Oh meninggikan suaranya, jelas sangat kesal.

"Tidak," Lisa membalasnya dengan tenang. "Aku baru gila kalau memaksanya ikut bimbel. Dia tidak mau pergi bimbel," kata Lisa.

"Karena dia bukan anakmu, kau tidak peduli padanya? Kalau memang begitu, biar aku yang mengurusnya!" Bibi Oh terdengar marah sekarang.

Lisa menghela nafasnya. Semakin tua wanita itu, dia terdengar semakin menyebalkan. "Aku tidak tahu kalau anda punya hak untuk mengatakan itu sekarang," kata Lisa setengah mencibir. "Dulu siapa yang memintaku terus merawatnya? Karena tidak ingin pernikahan putranya berantakan?" tanya Lisa. "Aku tidak akan mengembalikan semua uang yang sudah anda berikan untuk Yina. Karena Yina berhak menerimanya. Bagaimana pun dia cucumu. Tapi kalau anda terus memakai uang itu sebagai alasan untuk mendesaknya, untuk memaksanya mengikuti keinginanmu, lebih baik anda berhenti membayar uang sekolahnya. Aku bisa membayar semuanya," tegasnya, seperti bagaimana yang sudah ia hafalkan beberapa menit lalu. Lisa bersyukur karena ingatan dan kata-katanya saat itu tidak berbelit-belit.

"Kau tidak akan mengerti karena kau tidak sekolah, tapi masuk kuliah tidak semudah pikiranmu. Dengan nilainya sekarang, Yina tidak akan bisa masuk ke fakultas kedokteran, dia bahkan tidak bisa masuk ke fakultas hukum! Dia bisa masuk ke sana, kalau kita mendorongnya sedikit. Semua teman-temannya berusaha untuk masuk ke sana, mana mungkin dia tidak ingin masuk ke sana?" debat Bibi Oh, belum menyerah.

"Yina tidak ingin sekolah kedokteran apalagi hukum," balas Lisa.

"Siapa bilang dia tidak ingin? Dia tidak ingin masuk ke sana karena takut kau tidak mampu membiayainya!" wanita itu belum menyerah. Terus menyalahkan Lisa atas kemiskinannya. Terus menyalahkan Lisa yang tidak bisa memberikan banyak dukungan pada pendidikan cucunya.

Lisa sempat terpengaruh dengan ucapan itu. Ia memang tidak bisa membiayai sekolah Yina jika gadis itu ingin masuk ke fakultas kedokteran ataupun hukum seperti teman-temannya. Namun buru-buru ia hapus pikiran itu. Yina ingin menggambar, bukan belajar mengobati seseorang, bukan juga belajar menghukum seseorang. Ia yakinkan dirinya, kalau Yina tidak berbohong padanya. Kalau Yina benar-benar jujur ketika ia bilang, ia ingin belajar menggambar.

"Pokoknya, Yina tidak ingin pergi bimbel," kata Lisa, yang tidak punya argumen pendukung lain lagi. "Dia yang bilang kalau dia tidak ingin pergi bimbel. Karena itu jangan memaksanya pergi bimbel lagi. Kalau Bibi masih melakukannya, akan aku pindahkan Yina ke sekolah lain," ancam Lisa, yang sudah kehabisan alasan untuk berdebat.

"Lalu, kalau hidupnya jadi berantakan karenamu, siapa yang akan bertanggung jawab?" Bibi Oh ikut mengancam.

Sebentar Lisa terdiam. Menimbang-nimbang, juga berdoa agar keputusannya hari ini tidak akan menghancurkan hidup putrinya.

"Hidupnya sudah jadi berantakan karena putramu," Lisa berkata dengan tatapan tajamnya, berusaha memenangkan perdebatan itu. "Hidupnya sudah lama berantakan dan aku yang memperbaikinya. Tentu aku bisa bertanggung jawab kalau sesuatu yang buruk kembali terjadi, aku ibunya," tegas Lisa, lantas bangkit dan berpamitan untuk pergi dari sana. Ia tidak tahan lagi berada di sana, merasa terintimidasi di dalam atmosfer orang-orang berpendidikan.

Seperginya ia dari gedung itu, kakinya yang lemas akhirnya tumbang. Lisa berjongkok di trotoar, memeluk kakinya sendiri dengan nafas memburu, terengah-engah seolah dirinya baru saja berlari sepanjang hari. Ia bisa berdiri dengan tegap di depan Bibi Oh tadi, bicara tanpa ragu di depannya, namun jauh di dalam dirinya ia tetap merasa ragu. Benarkah keputusannya kali ini? Bagaimana kalau ia menghancurkan masa depan putrinya? Lisa luar biasa ragu.

Lama ia duduk di sana, hampir menangis karena takut. Berharap seandainya ibunya masih hidup, berharap seandainya ia punya seseorang untuk ditanyai, berharap seandainya ia tidak sendirian di sana. Ini bukanlah hidup yang Lisa inginkan. Ini bukanlah hidup yang ia mimpikan. Seandainya Yina tidak pernah datang, mungkin hidupnya tidak akan semenakutkan ini.

Seperti sebuah kebetulan, di saat air matanya hampir kering, handphonenya berdering. Sebuah panggilan baru saja masuk. Jiyong yang meneleponnya dan Lisa butuh waktu lama untuk menjawab panggilan itu. Sebab ia tidak ingin siapapun menyadari tangisannya.

"Hm?" gadis itu bergumam menjawab teleponnya.

"Dimana kau sekarang? Sudah punya menu makan malam?" Jiyong bertanya, dengan nada bicaranya yang santai bak biasanya.

"Sebentar lagi pulang, ada apa?" tanyanya.

"Boleh aku ikut makan malam di rumahmu?" tanyanya sekali lagi, teramat santai sebab tidak ia tahu kalau lawan bicaranya baru saja menangis di tepi jalan. "Akan aku bawa sendokku sendiri," susul Jiyong, mencoba untuk terdengar lucu.

"Huh? Aku punya banyak sendok, datang lah," balas Lisa, sama sekali tidak tahu dimana bagian lucunya.

"Cukup siapkan nasinya saja, akan aku bawakan lauknya," kata Jiyong, bersamaan dengan bangkitnya Lisa dari posisinya sebelumnya.

"Ya, baiklah," gadis itu setuju. Ia bisa menyuruh Yina memasak nasi nanti, setelah Jiyong mengakhiri panggilannya.

"Kau tidak terdengar senang, apa sesuatu terjadi? Ah! Hari ini kau pergi menemui Bibi Oh, kan? Bagaimana hasilnya? Dia setuju?" tanya Jiyong, menemani langkah Lisa keluar dari area universitas itu.

Lisa tidak langsung menjawabnya. Gadis itu terdiam, cukup lama sampai Jiyong kembali bicara. Sampai Jiyong menyadari kalau sesuatu benar-benar terjadi. Yang ia dengar hanya helaan nafas Lisa, tentu ia tahu kalau gadis itu tidak merasa baik sekarang. "Dia tidak setuju?" tanya Jiyong, lebih berhati-hati lagi sekarang.

"Kenapa oppa peduli?" Lisa tanpa sadar menusuk Jiyong dengan pertanyaannya.

"Apa aku melewati batas? Maaf, aku hanya-"

"Tidak," Lisa menyela. "Bukan melewati batas. Aku hanya ingin tahu, kenapa oppa begitu peduli pada putriku. Aku tahu oppa menyukaiku, tapi aku juga tahu kalau oppa pergi ke psikiater karena anak-anak seusianya. Karena itu aku ingin tahu, oppa tidak perlu memaksakan diri hanya untuk berbincang denganku, kita bisa membicarakan hal lainnya," tanyanya, lebih berhati-hati.

"Entahlah, aku pun tidak tahu," Jiyong yang sempat terdiam akhirnya menjawab. "Mungkin karena dia dibesarkan olehmu, jadi dia tidak seberapa menakutkan?" katanya. "Jadi... Apa aku boleh tahu yang terjadi padanya?" susulnya, kembali bertanya. "Bagaimana keputusanmu dan Bibi Oh?" tanyanya.

"Bibi Oh tidak setuju," Lisa akhirnya menjawabnya. "Tapi Yina tidak akan pergi bimbel. Aku tidak akan membiarkannya melakukan apa yang tidak ingin dia lakukan," susulnya.

"Syukurlah," gumam Jiyong kemudian. "Aku punya kabar bagus hari ini. Aku beri tahu saat aku tiba di rumahmu. Oh iya, sungguh aku tidak perlu membawa sendokku sendiri? Kau mungkin akan kekurangan sendok hari ini?" tanyanya.

"Oppa akan makan dengan berapa sendok?"

"Belum pasti, mungkin tiga atau lima?"

"Kau akan mengajak orang lain ke rumahku?!"

"Sampai nanti!" dan Jiyong pun mengakhiri panggilan itu secara sepihak.

***

Introducing Me (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang