***
Malam setelah mereka mendaftar pernikahan, Jiyong mengajak Lisa untuk makan malam bersama wanita yang membesarkannya di panti asuhan. Lisa sedikit canggung, sebab wanita itu mengenalnya, mengatakan kalau Jiyong sering membicarakannya, sedari lama. Yina pun mengenal wanita itu, ia mengaku Jiyong pernah mengajaknya ke sana, saat ia ragu untuk menyetujui pernikahan ibunya. Beberapa saat setelah ia tahu Jiyong melamar ibunya.
Keesokan harinya, mereka sibuk seperti biasanya. Lisa bekerja di binatu, dan Jiyong pergi ke studio rekamannya. Mengurus beberapa hal. Di hari selanjutnya, mereka mencari gedung untuk resepsi pernikahan, namun sayang, tidak ada satupun aula bagus yang bisa mereka sewa. Semua aula sudah dipesan sampai akhir tahun nanti.
"Menyewa aula sederhana tidak bagus untuk karirmu," kata Lisa. "Kenapa seorang produser terkenal menikah di tempat seperti itu? Tempat yang ada tidak cocok dengan tamu-tamumu. Daripada begitu, lebih baik tidak mengadakan resepsi," susulnya. "Bagaimana dengan pesta kecil di restoran? Kita bisa menyewa sebuah restoran untuk makan malam, lalu mengundang teman-temanmu," tawarnya.
"Meski hanya pesta kecil, kau tetap mau memakai gaun pengantin?"
"Tentu," angguk Lisa. "Tapi oppa juga harus memakai tuxedo. Aku tidak mau pakai gaun pengantin kalau oppa datang dengan kaus dan celana jeans. Tidak, kalau oppa datang dengan pakaian itu, aku tidak mau datang ke pestanya, berpesta saja sendirian," susulnya.
Berawal dari tidak ada gedung yang bisa mereka sewa, resepsi pernikahan itu berakhir di sebuah restoran Italia. Yang Jiyong pesan secara mendadak—acaranya besok lusa. Di akhir pekan, hari Minggu, pada jam makan malam. Lepas memesan tempat, ke restoran yang sudah beberapa kali Jiyong kunjungi, restoran yang sudah ia tahu pasti kalau makanannya enak. Jiyong mengundang semua teman-temannya, hanya yang terdekat.
"Berapa banyak yang oppa undang?" tanya Lisa, duduk di mobil sembari memegangi handphonenya. Ia baru saja mengetik pesan undangan yang akan dikirimnya. Namun setelah memilih kontak telepon di handphonenya, gadis itu mendadak ragu. "Orang yang ingin aku undang, tidak sampai sepuluh orang. Yina, Rose, Jisoo, siapa yang mengundang Jennie? Aku atau oppa? Wah... Aku merasa tidak punya teman. Selama ini dengan siapa saja aku bermain?" herannya, padahal ia punya lebih dari seribu nomor telepon di handphonenya.
"Sekitar dua puluh lima orang, termasuk Jennie, ini sudah setengah dari semua kontak di handphoneku," jawab Jiyong. "Kau tidak mengundang wali kelas Yina? Gurunya? Teman-temannya Yina tidak perlu kita undang? Aku memesan restoran tadi untuk tujuh puluh orang tapi ternyata temanku tidak sebanyak itu," susulnya, sama herannya.
"Oppa hanya menyimpan lima puluh nomor telepon?" tanya Lisa. "Aku punya hampir dua ribu. Tapi sebagian besarnya, petugas keamanan, restoran pesan antar, petugas kebersihan, polisi dan karyawan supermarket," susulnya. "Augh! Terserah, aku hanya akan mengundang mereka," katanya, yang akhirnya mengirim pesan itu hanya pada orang-orang yang diingatnya. Lagi pula itu hanya sebuah pesta kecil bukan resepsi sakral. Bukan sebuah upacara yang akan membuat mereka yang tidak diundang merasa tersinggung.
Butuh satu jam untuk mereka memutuskan tamu-tamu undangannya. Bahkan setelah berusaha menambah tamu, orang yang mereka undang tetap kurang dari tujuh puluh orang. Begitu selesai, keduanya menyimpan lagi handphone mereka. Hari ini mereka perlu menemukan gaun pengantin, termasuk tuxedo-nya. Jennie yang kemarin datang sebagai saksi pernikahan itu—di kantor urusan sipil—menawarkan diri untuk membantu mereka berburu gaun pengantin. Tentu saja Jennie akan menggunakan koneksi teman-teman kayanya untuk bantuan itu.
"Pernikahan kalian benar-benar sederhana," komentar Jennie. "Ini bukan pujian. Aku senang kalian menikah, tapi undangan apa yang oppa kirim tadi? Bahkan lirikmu lebih bermakna daripada undanganmu," cibir Jennie, yang siang ini mereka jemput di apartemennya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Introducing Me (New Version)
FanfictionAku si itik buruk rupa yang ditinggalkan ibuku. Aku melihatnya bertengkar kala itu, marah dan memukul pria di depannya, laki-laki yang aku pikir ayahku, tapi tidak pernah sudi aku panggil begitu. Keesokan harinya, setelah pertengkaran hebat, ia memb...