***
Sabtu ini Yina yang membukakan pintu untuk Jiyong. "Paman sudah tahu kodenya, kenapa masih menekan bel?" heran Yina. "Dan kapan kau akan mulai tinggal di sini? Kalian sudah—Selasa, Rabu, Kamis, Jumat—lima hari menikah tapi tetap pulang sendiri-sendiri? Sudah berciuman? Sudah kan? Kalian tidak selambat itu kan? Paman pernah memeluk ibuku kan?" oceh Yina, membiarkan Jiyong mengekor masuk ke dalam rumahnya.
"Kau berani bilang begitu, ibumu pasti tidak di rumah, kemana dia?" tanya Jiyong, melangkah masuk hanya dengan handphone dan kunci mobil di tangannya.
Yina duduk di sofa, kembali menonton kartun paginya. Sedang Jiyong mengambil tempat di meja makan, duduk di sana sembari memperhatikan Yina. Ia letakan handphone dan kunci mobilnya di meja, memperhatikan Yina dengan celana olahraga dan kaus lengan panjangnya. Rambutnya diikat berantakan, namun tetap cantik seperti ibunya.
"Kalian bahkan tidak berkirim pesan? Selamat pagi, sayang? Tidak melakukannya?" heran Yina. "Bahkan aku dan Junkyu-"
"Kau berkencan?! Dengan Junkyu? Lalu bagaimana dengan Yedam?" kata Jiyong, bersamaan dengan Yina yang menutup sendiri mulutnya. Kali ini pria itu mendekat. Duduk di sebelah Yina. "Akhirnya Junkyu yang kau kencani?" tanya Jiyong namun Yina menggelengkan kepalanya.
"Hanya saling menggoda," aku Yina kemudian, yang kemudian menutup wajahnya dengan bantal, menjerit karena malu.
Jiyong tertawa melihatnya. Terbahak-bahak seolah Yina baru saja membuat lelucon yang luar biasa lucu. Mendengar Jiyong tertawa, Yina jadi kesal. Lantas ia pukul pria itu dengan bantal. Menyuruhnya berhenti tertawa, berhenti mengejeknya. Sepanjang ia bekerja dengan penyanyi-penyanyi baru, idol-idol baru, yang masih muda, Jiyong tidak pernah tertarik dengan hubungan asmara mereka. Jiyong tidak peduli siapa berkencan dengan siapa, siapa berselingkuh dengan siapa, siapa menyukai siapa, namun mendengar Yina yang melakukannya—saling menggoda dengan teman prianya—Jiyong jadi tertarik pada cerita itu.
Jiyong bertanya lebih banyak. Penasaran bagaimana cara Yina saling menggoda dengan temannya. Namun Yina tidak mau menceritakannya, mengatakan kalau pesan-pesan mereka itu privasi, Jiyong tidak boleh tahu. Untungnya, Jiyong menyerah sebelum Yina marah.
"Baiklah," kata Jiyong, merebut bantal yang Yina pakai untuk memukulnya, lantas meletakan bantal itu di antara mereka. "Jadi kemana ibumu?" tanya Jiyong kemudian.
"Pergi berbelanja," jawab Yina. "Paman akan pindah hari ini?" tanyanya kemudian dan Jiyong mengangguk.
"Satu jam lagi barang-barangnya datang, Jennie masih mengurusnya," katanya, yang kemudian meminta Yina untuk mengambilkannya air.
Yina bangkit, melangkah ke dapur untuk mengambilkan Jiyong segelas jus. Dalam langkahnya, gadis itu bertanya, "Bibi Jennie yang mengemasi barang-barangmu? Pakaian juga? Pakaian dalam? Kenapa?" tanyanya, ingin tahu.
"Bukan pakaian. Untuk apa dia mengemasi pakaianku?" jawab Jiyong.
Semua pakaiannya sudah ia kemasi sendiri semalam. Sudah dimasukan ke dalam koper dan ada di dalam mobilnya. Dari rumah lamanya, Jiyong hanya membawa ranjangnya, tanaman-tanamannya, ikannya, juga beberapa alat musiknya. Jiyong perlu menukar ranjang di kamar Lisa dengan miliknya, sebab ranjang Lisa terlalu kecil untuk mereka berdua.
"Ah... Tapi kenapa Bibi Jennie mau mengerjakan semuanya untukmu? Bukan kah dia produser juga?" tanya Yina, kali ini sembari mendudukan dirinya di atas meja ruang tengah, bersila di depan Jiyong.
"Meski sudah jadi produser, dia masih asistenku, memang dibayar untuk mengerjakan semuanya, setidaknya sampai kontraknya denganku berakhir," Jiyong menjawab semua pertanyaan Yina.
Yina mengangguk, namun ibunya belum juga pulang. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya Lisa cari, sebab wanita itu pergi sebelum putrinya bangun tidur. Lisa pergi setelah meninggalkan sarapan dan sebuah pesan di meja makan. Mengatakan kalau ia akan berbelanja, juga berpesan kalau Jiyong akan datang hari ini.
"Paman," Yina kembali berucap, masih sembari duduk bersila di meja. "Aku ingin membicarakan sesuatu," pintanya.
"Apa? Bicara saja, sedari tadi kau sudah melakukannya."
"Tapi ini akan sedikit kasar? Atau tidak? Aku tidak tahu," ragunya.
"Bicara saja. Akan aku nilai nanti, itu kasar atau tidak," jawab Jiyong.
Sebentar Yina menarik nafasnya dalam-dalam. Lantas gadis itu mulai membuka mulutnya, mengatakan agar Jiyong tidak tersinggung dengan kata-katanya nanti.
"Meski menikah dengan ibuku, Paman tetap bukan ayahku, paman tahu situasinya kan?" tanyanya dan Jiyong menganggukan kepalanya. "Aku ingin tetap memanggilmu Paman. Aku sudah memberitahu ibuku, dan dia bilang, Paman mungkin akan terluka karena itu."
"Aku tidak keberatan," tenang Jiyong. "Kalau melihat kartu keluargamu kemarin, kau ditulis sebagai adik ibumu. Akan lebih canggung kalau kau memanggilku kakak ipar, panggil paman saja, tidak apa-apa," susulnya.
"Oh iya! Aku masih kesal soal itu!" seru Yina kemudian. "Bisa-bisanya aku ditulis sebagai adik ibuku? Maksudku, ibu kandungku. Dan eomma- maksudnya Bibiku baru tahu saat aku akan masuk sekolah. Aku jadi bingung siapa aku. Aku keponakan Bibiku, tapi aku memanggilnya eomma, dan di kartu keluarga, dia kakakku. Bahkan drama makjang tidak serumit ini," cerita Yina.
"Bagaimana bisa begitu?"
"Tidak tahu," Yina mengangkat bahunya. "Siapa yang membuat catatannya jadi begitu pun aku tidak tahu. Eomma pun tidak tahu. Eomma bilang, mungkin ibu kandungku yang menggantinya, karena nenekku terkejut saat melihatku. Eomma bilang, nenek juga terkejut karena tiba-tiba punya cucu. Lalu kami tidak bisa menggantinya lagi," sebalnya. "Aku selalu benci kalau sekolah memberi tugas tentang keluarga. Karena aku tidak tahu bagaimana menjelaskan keluargaku. Ibuku ternyata bibiku dan ternyata lagi kakakku? Siapa yang akan percaya," oceh Yina, seolah percaya Jiyong tidak akan membocorkan ceritanya pada orang lain.
"Lisa pun bingung saat harus menjelaskan padaku kemarin, saat akan mendaftarkan kartu keluarga," kata Jiyong dan Yina mengangguk, mengatakan kalau Lisa sudah menceritakan masalah itu padanya.
"Semua ini karena Irene Kim menyebalkan itu," kesal Yina. "Kalau aku bertemu dengannya, aku ingin meninju wajahnya," janjinya. "Paman tahu? Selama ini, aku selalu membayangkan bertemu lagi dengannya, maksudku ibu kandungku. Awas saja kalau dia muncul di depanku dalam keadaan menyedihkan, miskin butuh uang atau sakit butuh donor organ, atau sekarat dan akan mati. Sudah membuat Bibiku kesulitan selama belasan tahun dan dia muncul lagi dengan semua masalahnya? Augh! Dia seperti karma buruk di keluarga ini," Yina mencibir, seolah ia amat membenci ibunya.
Jiyong mendengarkannya, dengan sangat serius. Dengan raut seriusnya ketika mendengarkan cerita orang lain seperti sekarang, Yina mengerti kenapa Lisa jatuh cinta pada pria itu. "Jadi, semisal kau bertemu lagi dengan ibu kandungmu dan ternyata sekarang dia seorang wanita kaya raya, kau tidak apa-apa?" tanyanya kemudian.
"Tetap menyebalkan, tapi setidaknya dia tidak jadi beban untuk Bibiku. Kalau dia cukup kaya, aku juga bisa memintanya memberi Bibiku kompensasi, atas belasan tahun yang Bibiku pakai untuk merawatku," katanya, bersamaan dengan bel rumah yang kembali di tekan. Orang-orang dari jasa pindah rumah yang datang, mengantarkan ranjang Jiyong juga barang lainnya.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Introducing Me (New Version)
FanfictionAku si itik buruk rupa yang ditinggalkan ibuku. Aku melihatnya bertengkar kala itu, marah dan memukul pria di depannya, laki-laki yang aku pikir ayahku, tapi tidak pernah sudi aku panggil begitu. Keesokan harinya, setelah pertengkaran hebat, ia memb...