抖阴社区

5

515 89 0
                                        

***

"Kau sungguh-sungguh dengan keputusanmu?" seorang tua dengan rambut yang diwarnai putih gading bertanya sekali lagi.

Lawan bicaranya menganggukan kepalanya, sekali lagi. Lawan bicaranya itu berambut hitam pekat, di potong pendek, rapi seperti seorang pegawai kantoran. Gaya rambutnya memang tidak mencolok, namun penampilannya pun tidak bisa disebut biasa. Lehernya ditato, juga kedua tangan dan kakinya.

"Apa yang akan kau lakukan jika berhenti sekarang? Ayolah, Ji-"

"Ini bukan keputusan yang spontan aku ambil, aku sudah memikirkannya matang-matang," potong pria itu, meyakinkan seorang CEO agensi di tempatnya bekerja.

Kwon Jiyong bekerja sebagai seorang produser di sebuah agensi hiburan. Ia melahirkan lagu-lagu manis romantis penuh cinta di sana, melahirkan juga lagu-lagu menyayat hati yang membuat banyak orang menangis. Semua sudah dilakukan untuk menghidupi dirinya sendiri, menimbun kekayaannya sendiri, hidup dengan milyaran royalti yang masuk ke rekeningnya setiap tahun.

"Aku sudah bekerja sangat keras selama ini, sekarang aku ingin beristirahat," katanya. "Psikiaterku bilang, aku harus beristirahat," susulnya menguatkan alasannya.

"Kau bisa cuti," sang CEO berambut putih memberinya saran, namun Jiyong menggelengkan kepalanya. Menolak saran itu sebab ia pernah mencobanya, lalu gagal.

Kwon Jiyong, si produser sukses dengan lagu-lagunya, sudah membulatkan tekadnya. Ia akan berhenti dari perusahaan itu, dari agensi itu. Berhenti menulis dan merilis lagu—kalau memungkinkan. Ia sudah muak, teramat muak hingga rasanya akan ia akan mati berdiri jika terus berada di sana. Lama ia bicara di ruang kerja sang CEO, sampai akhirnya ia bisa keluar setelah pria paruh baya itu menyerah untuk membujuknya. Tidak ada yang bisa membelokan niat bulat pria bertato itu.

Begitu selesai dengan urusannya, jam sudah menunjuk pukul lima sore. Pria itu berencana untuk pulang, ia pergi ke tempat parkir, menghampiri mobilnya yang menunggu di sana. Seseorang meneleponnya begitu ia selesai dengan pembicaraannya tadi. Memintanya untuk datang ke tempat parkir kecil di belakang gedung.

"Bisa-bisanya kau tidak bisa keluar dari tempat parkir," komentar Jiyong, begitu ia tiba di tempat parkir itu, melihat seorang wanita yang meneleponnya berdiri sembari tersenyum. Senyuman yang bukan lagi senyum malu-malu. Cengiran lebar dengan sederet gigi-gigi rapi yang sengaja diperlihatkan.

Kim Jennie—asisten produsernya—meneleponnya tepat jam lima tadi. Berkata kalau ia terjebak di belakang gedung agensi itu. Wanita itu terjebak di antara dua mobil yang diparkir paralel. Jarak bagian depan dan belakang mobilnya terlalu dekat dengan mobil lain, membuatnya tidak yakin dirinya bisa mengeluarkan mobilnya tanpa menggores mobil lain.

"Tadi mobil ini tidak ada," akunya, menunjuk sebuah suv mewah dibelakang mobilnya. "Kalau dia tidak ada seperti tadi pagi, aku bisa mundur dan keluar dari sini. Sekarang aku benar-benar terjebak, tolong aku," pintanya, sembari melemparkan kunci mobilnya pada Jiyong yang berdiri beberapa langkah di depannya.

Jiyong menangkap kunci itu. Ia bantu asistennya sembari menggerutu. Heran bagaimana bisa wanita itu mendapatkan lisensi mengemudinya. Jennie tidak bisa memarkir mobilnya dengan benar, karena itu ia selalu meninggalkan mobilnya di belakang gedung, terparkir paralel bersama mobil lain yang kehabisan tempat parkir di basement atau di depan gedung.

"Naik taksi saja kalau kau tidak bisa memarkir mobilmu," gerutu Jiyong, setelah berhasil keluar dari tempat parkir itu.

"Ongkos taksinya mahal," balas Jennie. "Orangtuaku tidak memberiku uang lagi sekarang," katanya, yang masih berkutat sebagai asisten produser disaat teman-temannya sudah berkarir dan punya penghasilan belasan juta.

"Pulang saja," Jiyong berkata, sembari membawa mobil itu ke bagian depan gedung agensi. Tempat dimana ia meninggalkan mobilnya sendiri.

"Setelah aku membual akan hidup bahagia dengan pria berengsek itu? Mana mungkin. Mereka akan terus menceramahiku selama aku tinggal di sana. Aku bahkan menghindari acara-acara keluarga sekarang," cerita Jennie, selanjutnya ia berpesan agar Jiyong tidak memarkir lagi mobilnya. Ia akan pulang sore ini, sebelum kembali lagi besok.

Jiyong melirik heran pada gadis di sebelahnya. Ia tidak sebodoh itu, sampai akan memarkirkan lagi mobil seorang gadis yang payah dengan kemudinya. Setelah melewati pintu utama gedungnya, pria itu bergumam, "sepertinya aku melihat Lisa tadi," katanya.

"Lisa? Sudah lama sekali oppa tidak membicarakannya. Dimana kau bertemu dengannya?"

"Di lift. Dia ada di dalam lift saat aku lewat akan menghampirimu," jawabnya. "Tapi dia memakai seragam sekolah. Aku pasti berhalusinasi," katanya kemudian.

"Wah... Halusinasimu sepertinya makin parah oppa. Aku jadi setuju kau memilih untuk berhenti. Kau perlu terapi dan istirahat," komentar Jennie, tepat dengan berhentinya mobil itu di depan mobil sedan hitam milik Jiyong. Jiyong menarik tuas rem di sebelah kemudi, setelah memastikan mobil itu berada di status parkir. Ia akan melangkah turun, begitu juga dengan Jennie yang harus berpindah ke kursi pengemudi.

"Oppa," gadis itu kembali memanggil, tepat setelah Jiyong keluar dari mobilnya dan melangkah menjauhinya.

Yang dipanggil lantas berhenti, menoleh kebelakang, sedikit membungkuk agar bisa melihat wajah orang yang memanggilnya. "Aku tidak tahu apa yang sedang dilakukannya sekarang, tapi Lisa yang dulu aku kenal pasti sedang baik-baik saja sekarang. Dia akan selalu bahagia dimanapun dia berada, jadi kau pun harus begitu. Hubungi aku kalau kau akan mengerjakan lagu baru, sampai nanti," pesannya, yang hanya Jiyong balas dengan senyuman juga anggukan tipis. Mobil wanita itu lantas melaju pergi, sedang Jiyong melambaikan tangannya sebentar sebelum kemudian ia masuk ke dalam mobilnya. Akan meninggalkan tempat itu, namun sialnya ia lupa mengambil beberapa barangnya di studio.

Jiyong kembali mematikan mobilnya, kembali naik ke lantai tiga gedung agensi itu. Barang-barangnya harus ia ambil sekarang, sebab ia tidak ingin datang lagi ke tempat itu lain kali. Semua yang ada di sana menyebalkan, menyiksanya. Ia merasa harus segera kabur dan tidak kembali lagi. Ia berdiri di dalam lift selama beberapa detik. Hanya sebentar namun rasanya sangatlah lama.

Ia melangkah keluar setelah pintunya terbuka, namun kakinya tidak mau bergerak lagi. Di depannya, berdiri seorang gadis yang sepintas tadi ia lihat di dalam lift. Gadis yang terlihat mirip dengan kenalan lamanya, namun memakai seragam sekolah. Ia terus memperhatikan anak perempuan itu, menilai garis-garis wajahnya, mencari perbedaan antara gadis itu dengan seorang wanita kenalannya. Untungnya, ia menemukan banyak perbedaan di sana. Anak dengan seragam yang berdiri di depannya, bukanlah seseorang yang dulu ia kenal. Anak itu bukan Lalisa Kim yang pernah ia kenal.

***

Introducing Me (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang