***
Kwon Jiyong merasa ada retakan di kepalanya. Tanah yang ia injak bergoyang, gempa kah malam ini? Rasanya tidak, sebab, seperti efek-efek berlebihan di dalam film, ia bisa melihat banyak bunga dan gelembung sabun terbang mengambang di antara wanita yang datang mendekat itu.
Jantungnya terpompa, luar biasa berdebar seolah akan pecah. Otaknya membeku, berhenti bekerja. Sihir. Ya, Kwon Jiyong merasa dirinya tersihir sekarang. Saking kuatnya sihir itu, ia sampai lupa alasannya duduk di sana.
Jiyong pikir ia akan marah, ia kira dirinya akan membenci gadis itu. Orang yang pernah meninggalkannya, tanpa kabar, tanpa penjelasan, Jiyong ingin menuntutnya, mendesaknya untuk tahu alasan ia ditinggalkan. Namun ketika wanita itu kembali muncul di depannya, ia justru terlihat seperti seekor anak anjing yang tidak bisa berhenti mengibaskan ekornya. Sial, malam ini bahkan kerikil di dekat kakinya terlihat begitu indah.
"Jiyong oppa?" suara wanita itu mencairkan bongkah es di kepala sang produser. Rasanya geli, seperti tangan yang sedang memegang sebuah es krim dalam cone. Es krim itu mencair dan pelan-pelan tetesannya menyentuh kulit-basah, dingin, lengket dan manis. Semua sensasi itu kini terasa di dalam kepalanya.
Pria itu tidak ingat apa yang terjadi selanjutnya. Namun ketika penyihirnya pergi, melangkah menjauh sembari merangkul bahu putrinya, Jiyong baru sadar. Ia benar-benar tersihir, dan entah bagaimana Kwon Jiyong menyukai mantra itu. Kini senyumnya mengembang, menatap punggung yang perlahan-lahan menjauh. Yina sesekali menoleh, melihatnya kemudian tersenyum canggung padanya, seolah sedang terpaksa menyapanya.
Sedang tidak jauh dari pria itu, jantung Lisa berdebar sama kerasnya. Alih-alih merasa senang, apalagi nyaman, gadis itu justru luar biasa gugup. Kenapa dia menatapku seperti itu? Kenapa dia melihatku begitu? Ada apa dengan sikapnya padaku? Setelah bertahun-tahun kami tidak bertemu? Apa aku melakukan kesalahan padanya? Apa aku pernah melukainya? Apa dulu aku merundungnya? Itu tidak mungkin! Tapi mungkin saja?-Lisa amat berdebar, sebab ia tidak bisa mengingat apapun.
"Eomma," Yina bersuara, sembari terus merangkul lengan ibunya. Melangkah pergi menjauhi minimarket untuk sampai ke halte bus. Lisa datang dengan taksi beberapa menit lalu, ia berusaha datang secepat yang ia bisa karena tidak berhasil menemukan kunci motornya. Kini Yina sudah berdiri di sebelahnya, jadi mereka bisa pulang naik bus. "Ada apa dengan paman itu?" tanya Yina kemudian. Heran karena ia tidak bisa mendeskripsikan ekspresi yang Jiyong tunjukan tadi. Pria itu menatap lekat pada ibunya, garis wajahnya terlihat begitu keras, seolah marah namun ia tidak mengatakan apapun.
"Aku pun tidak tahu," Lisa sama herannya.
"Apa dulu eomma melakukan sesuatu yang jahat padanya?" Yina menebak, namun ibunya tidak bisa memberinya sebuah jawaban pasti. Lisa pun tidak ingat, kenakalan apa yang dulu pernah dilakukannya. "Anak yang Nayeon dan gengnya rundung, menatap Nayeon seperti itu. Eomma sungguh tidak pernah merundungnya?" desak Yina, luar biasa penasaran. "Dia sangat baik saat bicara denganku, tapi langsung berubah begitu eomma muncul. Ada apa? Ceritakan padaku," anak itu terus bertanya, luar biasa penasaran.
"Tidak!" Lisa berseru, sedikit menaikan nada bicaranya. "Aku tidak pernah merundungnya," susul Lisa, kali ini lebih pelan dari sebelumnya. "Aku mungkin menjahilinya, tapi... Aku tidak seburuk itu," wanita itu membela dirinya di depan sang putri, meski ia tetap terdengar ragu dengan ucapannya itu. "Augh! Terserah, lagi pula kita tidak akan bertemu lagi dengannya," susulnya kemudian, di saat Yina tengah mengira-ngira kejahilan apa yang mungkin ibunya lakukan.
Mereka berbincang di sepanjang perjalanan pulang. Yina memberitahu segalanya, semua yang terjadi hari ini, bahkan cerita Wonyoung tadi, ia ceritakan segalanya pada Lisa. Sang ibu membulatkan matanya, di dalam bus yang cukup ramai. Mereka duduk di sudut, dan tidak seorang pun memperhatikan keduanya. "Temanmu bilang begitu? Dia melakukannya dengan orang itu? Sungguh?" Lisa menatap putrinya, luar biasa penasaran.
"Dia pasti berbohong, kenapa eomma melihatku begitu? Eomma percaya pada ceritanya?" tanya Yina namun Lisa justru menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak percaya dia sungguhan melakukannya," kata Lisa, tentu berbisik. Sedari tadi mereka berdua bicara dengan sangat pelan. "Tapi... kalian sudah sampai ke fase itu? Kau sudah pernah melakukannya? Belum kan?" bingung Lisa, dengan kepala yang mulai berdenyut, resah membayangkan putrinya sudah tertarik dengan hubungan seksual.
"Teman-temanku bilang mereka sudah pernah melakukannya," angguk Yina. "Sebagian berbohong dan sebagian lainnya tidak," susulnya. "Eomma ingat Hyunsuk yang ketahuan menonton video porno di sekolah kan? Pacarnya ternyata hamil... Dia memberitahuku tadi pagi, kalau kepalanya hampir meledak karena ternyata pacarnya hamil," cerita Yina, yang tidak ada habisnya.
"Kita harus mampir minimarket nanti," Lisa kemudian berkata, lebih pada dirinya sendiri. "Kau jangan sampai hamil," Lisa memperingatkan putrinya. "Kau yang paling tahu, apa yang akan terjadi kalau kau hamil ketika belum siap punya anak. Jadi jaga dirimu, oke?" katanya.
"Sungguh? Eomma bilang begitu? Padaku?" tanya Yina, yang justru mengeratkan pelukannya di lengan ibunya. Ia suka jika ibunya memperingatkannya begitu, membuatnya merasa tengah berada di tempat yang aman, dengan seseorang yang menjaganya. "Eomma sungguhan peduli padaku, atau kau akan merasa iri kalau aku sudah melakukan sedang eomma belum pernah?" bisiknya kemudian, menggoda sang ibu sembari terkekeh pelan. "Aw! Sakit!" protesnya kemudian, ketika merasakan pahanya dicubit, dengan cukup keras.
Tiba di halte dekat rumah, keduanya turun dari bus. Lantas melangkah menuju rumah. Lalu tiba di rumah, Lisa menyuruh Yina untuk masuk ke dalam rumah lebih dulu, sedang dirinya akan pergi ke minimarket yang tidak jauh dari sana. Yina menurut, mengatakan kalau ia akan naik dan segera mandi. Sementara ibunya berjalan menyebrangi jalanan yang sepi, pergi ke minimarket 24 jam di dekat rumahnya.
Tiba di minimarket itu, ia berdiri di depan sederetan kondom. Sebenarnya ia merasa malu berdiri di sana, namun ia tidak punya pilihan lain. Ia merasa perlu melindungi putrinya. "Sial, aku tidak tahu mana yang bagus," gerutu gadis itu dalam hati, yang pada akhirnya memutuskan untuk berbalik, pergi ke lemari pendingin, mengambil sekaleng bir di sana. Ia membayar birnya, lantas melangkah ke kursi dan duduk di sana, melihat ke arah luar jendela. Lisa duduk di sana, menyesap birnya sembari mencari di internet tentang cara memilih kondom yang benar.
"Augh! Bagaimana aku tahu ukurannya?" bingung Lisa, sembari menatap nanar pada layar handphonenya. Di sana tertulis cara memilih kondom dengan memperhatikan panjang dan lebar penisnya.
Pencariannya, lantas ia ganti. Mencari ukuran penis rata-rata para remaja. Ia sesuaikan segalanya, dengan segudang asumsinya. Lantas memutuskan satu yang menurutnya paling sesuai dengan semua informasi itu. Lepas membayar dan melangkah meninggalkan minimarket itu ia baru menyadari sebuah masalah di depannya, "bagaimana dia bisa membawa ini tanpa merasa malu?" tanyanya di tengah langkah menuju rumah.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Introducing Me (New Version)
FanfictionAku si itik buruk rupa yang ditinggalkan ibuku. Aku melihatnya bertengkar kala itu, marah dan memukul pria di depannya, laki-laki yang aku pikir ayahku, tapi tidak pernah sudi aku panggil begitu. Keesokan harinya, setelah pertengkaran hebat, ia memb...