***
Jiyong pulang ke rumah setelah matahari terbenam. Pria itu menolak kerja lembur. Ia tidak ingin bekerja di malam hari. Inspirasi memang datang saat malam, namun ia ingin menghabiskan malamnya bersama keluarga barunya. Bukannya duduk di studio dan bekerja sampai pagi. Meski tidak ada jam kerja yang pasti, namun Jiyong selalu mengusahakannya—pulang setiap malam.
Malam ini sebuah teriakan menyambut kepulangannya. Yina menjerit, memaki di dalam kamarnya yang tidak kedap suara. Jiyong sempat terlonjak ketika datang, namun dalam rumah yang tidak terlalu besar itu, langsung ia lihat Lisa di sana, di dapur, tengah menyiapkan makan malam seperti ibu dan istri pada umumnya.
"Pakai saja earphonemu," kata Lisa, sembari menunjukan miliknya. Bahkan dengan sepasang earphone bluetooth yang dipakainya, Lisa masih bisa mendengar jeritan serta omelan Yina di kamar.
"Paman sudah pulang?" Yina muncul dari kamarnya, membuat Lisa buru-buru melepaskan earphonenya, sedang Jiyong memasukan kembali miliknya ke dalam saku.
"Hm? Aku sudah pulang, kenapa?" tanya Jiyong.
"Ayo main game bersamaku," ajak Yina. "Aku dikeluarkan dari guild karena jarang online," susulnya, dengan bibir cemberut seolah akan menangis.
"Bukankah besok masih ada-" Lisa berhenti bicara ketika Yina menoleh dan menatap tajam padanya. "Hm... Bermainlah, tidak apa-apa, ujiannya masih besok, masih ada waktu untuk bermain. Tidak apa-apa," susul Lisa, menyerah sebelum mulai berdebat. Lisa akan memarahi Yina, jika gadis itu berada dalam kondisi normalnya sekarang. Namun sayang, karena Irene putrinya sekarang jadi sangat tertekan.
"Kenapa tidak main dengan ibumu?" tanya Jiyong, yang tetap pergi ke meja ruang tengah. Mengeluarkan laptopnya di sana, bersama dengan Yina yang juga membawa laptopnya keluar dari kamar.
"Eomma tidak punya laptop," kata Yina, sedang komputer di sebelah mesin kasir tidak punya cukup memori untuk game peperangannya. "Lagi pula, eomma baru pulang dan langsung memasak. Entah darimana dia pergi, hari ini binatu tutup," adunya, kesal sebab Lisa tidak memberitahunya kemana ia pergi hari ini. Lisa tidak bisa bilang pada Yina, kalau ia pergi menemui Jennie hari ini.
"Jihoon ada di bawah, binatunya buka," kata Jiyong, yang tadi melihat binatu mereka menyala sore ini.
"Oh? Berarti binatunya buka setengah hari," asal Yina. "Binatu tutup saat aku pulang sekolah tadi," susulnya, tidak berbohong. Karena binatu memang tutup beberapa jam lalu tadi, saat Jihoon harus masuk kelas. "Augh! Lama sekali menyalanya!" omel Yina, pada laptopnya yang menyala seperti biasanya, seperti laptop normal pada umumnya. Itu terhitung laptop baru, Lisa membelikannya saat Yina masuk kelas sepuluh. Bahkan orang kaya raya sekalipun, belum tentu mengganti laptop mereka setiap tahun.
Jiyong menoleh pada Lisa, menatap gadis itu meminta petunjuk. Namun Lisa hanya mengangkat bahunya. Yina sudah begitu sejak Lisa pulang tadi—marah, kesal, mengomel, berteriak. Langkah kakinya dihentak-hentakan, dan dia marah pada segala hal. Lisa sudah menegurnya, namun Yina bilang dia kesal karena ujiannya sulit. Karena ia tidak siap dengan ujian itu.
"Bajingan! Berengsek! Aaa! Irene sialan! Semua ini karenanya! Augh! Persetan dia ibu kandungku! Kalau dia jahat begitu, apa aku harus tetap memperlakukannya dengan baik?! Apa benar hanya ada anak durhaka?! Kenapa tidak ada ibu durhaka?! Tidak... Tidak... Aku bisa jadi karmanya, dia anak durhaka, pada ibunya. Aku juga bisa jadi anak durhaka untuknya. Suaminya calon walikota? Haruskah aku muncul di tv dan menghancurkan mereka? Augh! Kesal!" marah Yina, mengoceh di ruang tengah sembari menendang-nendang dinding di depannya. Dinding kecil diantara pintu kamarnya, juga pintu kamar utama. Dinding dengan hiasan sebuah kanvas hasil lukisannya yang kemudian jatuh dan menimpa kakinya. "Akh! Augh! Aku jadi sangat sial setelah dia kembali! Eomma! Kenapa saudaramu sangat menyebalkan?! Aku membencinya!" keluhnya, lantas menendang lukisannya sendiri, sampai lukisan itu masuk ke kamar utama.
Jiyong yang belum terbiasa melihat Yina bersikap begitu, lantas membulatkan matanya. Menatap Lisa lekat-lekat, mencari petunjuk. Apa yang harus mereka lakukan sekarang? Ketika ada seorang anak mengamuk begitu? Ketika ada seorang anak remaja, berbaring mengamuk di lantai ruang tengah, marah saat menunggu loading laptopnya? Apa yang harus ia lakukan?
Namun Lisa tidak bergeming. Gadis itu tetap berdiri di depan kompornya. Memunggungi mereka karena harus menggoreng ikan. "Laptopmu sudah menyala," kata Jiyong, yang hanya bisa mengatakan itu. Pria itu benar-benar tidak punya petunjuk. Apa yang harus ia lakukan di saat seperti itu? Haruskah ia marah karena Yina berkata kasar? Tapi ibunya diam saja.
Yina kembali duduk, berhadapan dengan Jiyong, dengan batas meja ruang tengah. Keduanya sama-sama duduk di karpet baru yang Yina pilih. Jiyong yang membelikannya, karena sebelumnya tidak ada karpet di rumah itu. Lisa tidak ingin punya karpet, karena ia tidak bisa membersihkan karpet itu. Terlebih karpet bulu yang selalu Yina inginkan. Karpet lembut yang menurut Lisa akan langsung terlihat jelek setelah beberapa bulan di beli. Bulu-bulu halusnya mungkin akan menggumpal karena kotor dalam beberapa minggu—pikir Lisa. Namun kalau Yina menginginkannya dan Jiyong bersedia membelikannya, Lisa bisa apa?
"Augh! Sialan!" umpat Lisa, bersamaan dengan suara letupan kecil dari ikan yang digorengnya. Kalau umpatan yang ini, Jiyong tidak terkejut. Lisa hampir selalu melakukannya, ketika ia harus menggoreng sesuatu untuk lauk mereka. Jiyong sempat merasa sikap itu bukanlah sesuatu yang baik, bukan sesuatu yang pantas Lisa tunjukan di depan putrinya. Namun apa yang bisa ia lakukan sekarang? Lisa sudah bekerja sangat keras untuk membesarkan Yina jadi sebaik sekarang.
"Eomma," Yina memanggil sembari membuka gamenya. Akan mengoneksikannya dengan Jiyong, jadi mereka bisa melawan musuh bersama.
"Hm?" sahut sang ibu.
"Saat kau trainee, apa kau harus membayar?" tanyanya kemudian.
"Tidak," jawab Lisa. "Kenapa kau bertanya? Kau ingin trainee juga? Setelah beberapa kali ikut suamiku ke tempat kerjanya?"
"Tidak," Yina menggeleng, lalu melihat pada Jiyong. "Aku ingin kuliah di dekat rumah. Kalau kalian mengirimku kuliah di tempat yang jauh dari sini, bisakah kalian ikut denganku juga? Tidak ya? Paman harus pergi ke agensi setiap hari ya?" tanyanya.
"Kau ingin kuliah dimana? RCA? Parsons? RISD?" tanya Jiyong.
"Apa itu?"
"Sekolah seni paling bagus tahun lalu. Aku sudah mencarinya, Royal College of Arts di London, Parsons Design School di New York, aku punya banyak teman lulusan sana, atau Rhode Island School-"
"Tidak sejauh itu," geleng Yina. "Aku membicarakan Universitas S," susulnya.
"Huh? Apa-apaan itu? Tempat itu hanya lima belas kilometer dari sini. Untuk apa pindah rumah?" balas Jiyong. "Kalau kau bisa kuliah di sana, akan aku belikan mobil. Tidak perlu keluar dari rumah. Untuk apa pindah kalau hanya beberapa blok?" katanya kemudian.
"Huh?! Siapa yang memberimu izin membelikannya mobil?" protes Lisa, yang akhirnya berkomentar setelah ia selesai dengan ikan-ikannya.
"Kenapa? Kenapa aku butuh izin untuk memberinya hadiah? Kau bersikeras membayar uang kuliahnya. Aku tidak boleh memberinya hadiah? Aku sudah terlanjur menganggapnya seperti putriku sendiri, aku tidak boleh memberi hadiah pada putriku sendiri?" balas Jiyong, membuat Yina yang sebelumnya kesal kini menutup lagi laptopnya, juga menutup laptop Jiyong dari tempatnya duduk. Tanpa Jiyong sadari, begitu juga tanpa Lisa sadari, Yina selalu merasa terhibur setiap kali Jiyong bermain rumah-rumahan di sana. Berlaga jadi ayah yang baik namun dimarahi istrinya—Yina suka melihatnya.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Introducing Me (New Version)
FanfictionAku si itik buruk rupa yang ditinggalkan ibuku. Aku melihatnya bertengkar kala itu, marah dan memukul pria di depannya, laki-laki yang aku pikir ayahku, tapi tidak pernah sudi aku panggil begitu. Keesokan harinya, setelah pertengkaran hebat, ia memb...