抖阴社区

60

361 73 6
                                    

***

Lisa melangkah masuk, menghampiri Jiyong setelah ia selesai bicara dengan Yina. Setelah ia berjanji pada Yina kalau ia tidak akan melakukannya lagi—berhubungan badan ketika Yina ada di rumah. Lisa meminta maaf, bukan karena hubungan seksual itu, melainkan karena Yina tidak sengaja melihatnya.

Setidaknya 20 menit Jiyong dibiarkan marah sendirian. Lisa memilih untuk mendahulukan putrinya, dibanding langsung menyusul Jiyong ke kamar mereka. Selain karena menurutnya Yina lebih penting, Jiyong pun perlu waktu untuk menenangkan dirinya. Meredakan sedikit amarahnya. Lisa tidak pernah melihat Jiyong sangat marah sebelumnya, namun ia pun tahu Jiyong bersikap begitu bukan karena pria itu terlalu berlebihan. Dan Lisa harus mengakuinya—ia yang akan sangat marah, kalau Jiyong tidak mendahuluinya. Irene beruntung, karena Jiyong yang lebih dulu meledak, bukan adiknya. Setidaknya Jiyong tidak memukul wanita.

Di dalam kamar utama, Jiyong berbaring di ranjangnya. Menatap dinding, memunggungi pintu. Ia memeluk selimutnya, dengan kedua tangannya yang dilipat di depan dada. Lisa duduk di ranjang, menghampirinya lantas mengusap kepalanya. Mengusap rambutnya, sembari berkata, "aku tahu oppa tidak tidur," ucapnya.

Ia duduk di ranjang, bersandar pada kepala ranjang sedang Jiyong tetap berada di posisinya. Pria itu mengabaikannya. "Terima kasih karena sudah menggantikanku marah," kata Lisa, sembari terus menyentuh helai rambut suaminya. Jiyong tetap diam, masih kesal. "Tidak perlu khawatir, Yina tidak akan pergi," susulnya.

"Yina bilang begitu?" baru sekarang Jiyong menoleh, berbalik untuk melihat Lisa.

"Tidak, tapi bukankah itu sudah jelas? Untuk apa Yina pergi ke sana? Dia tidak punya alasan untuk pergi ke sana," tenang Lisa. "Dia harus pergi karena di sini ada orang asing? Memang suaminya Irene bukan orang asing untuk Yina?" katanya kemudian, meyakinkan Jiyong kalau Yina tidak akan pergi kemana-mana.

"Sungguh?"

"Hm... Sungguh," angguk Lisa sekali lagi. "Aku mengajari putriku untuk jadi anak yang setia, padaku," tenangnya, yakin kalau Yina tidak akan pergi.

"Tapi kenapa pembicaraan mereka lama sekali tadi?"

"Tidak tahu," kali ini Lisa menggeleng. "Mungkin Yina butuh waktu lebih lama untuk menolak Irene. Irene sangat egois, dia suka memaksa," susulnya, sembari menaikan bahunya.

Lisa yakin putrinya tidak akan pergi kemana pun. Ia memang sempat ragu, ketika menunggu di binatu tadi, namun rasa ragunya seketika sirna setelah mendengar putrinya bicara. Yina lebih fokus pada masalah mereka pagi ini, hingga ia merasa tidak ada masalah lain yang perlu ia khawatirkan. Yina tidak akan pergi, Lisa yakin sekali.

"Baiklah kalau kau yakin dia tidak akan pergi," Jiyong menyerah. Ia berhenti marah—meski tidak instan. Kemudian, di peluknya pinggang istrinya. Mengatakan kalau ia tidak ingin Yina tinggal bersama Irene. "Aku tidak keberatan kalau dia ingin tinggal sendirian saat kuliah, di asrama kampus atau apartemen dekat kampusnya, tapi tidak tinggal di rumah kakakmu," katanya, sedang Lisa hanya mengusap-usap bahunya, juga kepalanya. "Kau tidak ingat bagaimana cerita Jennie? Bagaimana suami Irene memperlakukannya? Augh! Membayangkan Yina akan tinggal di rumah Irene bersama suaminya yang mesum itu membuatku marah sekali," gerutu Jiyong.

"Tidak, tidak akan... Yina tidak akan pergi kemana pun. Oppa tetap bisa bermain rumah-rumahan dengannya-"

"Kau sungguh tidak tahu bagaimana kelakuan suami kakakmu?" potong Jiyong.

"Dia ingin berselingkuh dengan Jennie, aku tahu," santai Lisa.

"Kau pikir dia hanya ingin berselingkuh dengan Jennie? Tidak begitu. Dia melihat Jennie sebagai anak sekolah menengah yang pernah dikencaninya. Saat di New York, Jennie tidak sengaja memakai rok pendek motif kotak, mirip seragam sekolah dan pria itu menepuk bokongnya, lalu bilang—kau cantik sekali kalau memakai seragam," cerita Jiyong dan Lisa merubah raut wajahnya.

"Menjijikan," kata Lisa, dengan raut jijik yang tidak ia buat-buat.

"Karena itu! Yina tidak boleh tinggal di sana," tegas Jiyong.

Di tengah-tengah obrolan dalam kamar utama itu—yang kali ini pintunya di tutup rapat—mereka mendengar suara Yina berteriak. Mengatakan kalau ia akan memesan pizza untuk makan siang hari ini. Yina tidak butuh persetujuan siapapun, sebab ia sudah memesan pizzanya, memintanya diantar ke binatu.

Masih di hari yang sama, begitu sore tiba, Jiyong bersiap untuk pergi. Yina belum pulang dari studio gambar Song Mino, sedang Lisa bekerja di binatunya. Pria itu melangkah turun setelah siap, menghampiri Lisa ke binatu untuk sekedar berpamitan. "Kau sungguh pergi karena pekerjaan kan?" Lisa bertanya, meyakinkan dirinya untuk melepas kepergian suaminya.

"Hm..." angguk Jiyong.

"Sungguh? Bukan untuk menemui Irene atau-"

"Aku juga akan mampir membeli kunci," potong Jiyong. "Kenapa kau tidak pernah bilang kalau kunci kamarnya rusak? Selama tinggal di sini, aku selalu mengunci pintunya. Tanpa tahu kalau ternyata itu sia-sia," gerutu Jiyong kemudian, rupanya suasana hati pria itu masih belum membaik. Karena permainan mereka yang tidak pernah selesai, bisa juga karena Irene atau karena masalah lainnya di tempat kerja. Tidak biasanya Jiyong pergi ke studio di sore hari begini, jadi Lisa pikir suaminya akan pergi karena ada masalah. Ini hari yang buruk untuk Jiyong—anggap Lisa.

"Yina tidak akan masuk lagi, dia sudah menyesalinya. Aku juga sudah memarahinya," jawab Lisa. "Pagi tadi dia tiba-tiba masuk karena sesuatu yang mendesak. Yedam tiba-tiba mengajaknya berkencan, lewat pesan. Dia baru membaca pesan itu ketika bangun, lalu langsung ke kamar untuk memberitahuku. Kami tidak pernah tinggal dengan orang lain sebelumnya. Saat keadaan mendesak, dia lupa kalau oppa ada di rumah. Berhentilah marah, hm?"

"Hhh... Baiklah," jawab Jiyong. Ia usap bahu Lisa, sedikit memijatnya. "Aku pergi dulu, ke studio," pamitnya sekali lagi.

Jiyong mengemudi ke studionya setelah itu. Melesat pergi dan masuk ke dalam studionya, mengejutkan beberapa orang yang sudah ada di dalam—Jennie salah satunya. "Huh? Kau datang, oppa? Dalam rangka apa?" tanya Jennie, menegur Jiyong yang tiba-tiba membuka pintunya dan muncul di dalam studio rekaman itu.

Pria itu tidak langsung menjawab, ia melangkah masuk, mengambil duduk di sofa sembari mengangkat tangannya, menyapa seorang penyanyi yang ada di balik kaca. "Lanjutkan saja pekerjaan kalian, aku hanya akan menonton," kata Jiyong setelah menyapa.

Jennie mendengus. Untuk apa Jiyong datang kalau ia hanya akan menonton mereka? Produser utama harusnya datang untuk bekerja, bukan menonton. Mereka kembali bekerja, kembali merekam. Namun Jiyong terus menghela nafasnya, seolah Jennie— yang bertanggung jawab di ruangan itu—baru saja melakukan kesalahan.

"Oh! Ayolah! Biarkan aku bekerja!" protes Jennie, setelah hampir tiga puluh menit Jiyong mengganggunya dengan keberadaannya. "Kenapa oppa ke sini? Ada apa? Apa yang salah? Katakan padaku apa yang salah!" sebal Jennie, menghentikan proses rekaman mereka, karena tidak tahan lagi mendengar helaan nafas penuh tekanan itu.

"Aku sedang kesal, lanjutkan saja perkerjaanmu!" balas Jiyong, sama kesalnya, sama sebalnya.

"Apa yang membuatmu kesal? Kau tidak puas dengan hasil kerjaku?!"

"Temanmu itu... Apa dia punya kelainan di otaknya?"

"Siapa? Lisa?"

"Kakaknya, Bae Irene."

***

Introducing Me (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang