***
"Oppa! Berhenti melihatku begitu!" keluh Lisa. Ia sudah kembali ke binatunya sekarang, tengah duduk di meja kasirnya sembari menulis beberapa catatan tentang barang-barang yang perlu ia beli untuk bisnisnya.
Sedang Jiyong ada di kursinya, jauh di sudut, sudah membuka laptopnya untuk bermain game. Namun game apa yang bisa ia mainkan sekarang? Ketika perasaannya luar biasa buruk sekarang. Ia sudah tidak lagi memikirkan urusannya dengan Wonyoung, bahkan pesan dari Yina juga Sandara sengaja diabaikannya.
"Mau aku bantu mencari-"
"Tidak," potong Lisa. "Lebih baik oppa pulang, daripada duduk di sana dan terus menggangguku," keluhnya kemudian. Lantas melangkah menghampiri Jiyong, meraih wajah pria itu, menekan kedua pipinya. "Lupakan ceritaku, bersikaplah seperti biasa. Kalau kau tidak bisa melakukannya, jangan datang ke sini," katanya, terdengar begitu tegas namun sialnya justru membuat Jiyong berdebar. Pria itu mendorong Lisa, di tangannya, membuat gadis itu terkejut dan mengangkat sebelah alisnya.
"Dimana aku bisa merokok? Di luar? Ah ya," gugup Jiyong, yang kemudian melangkah keluar. Ada dua buah kursi di luar, sedikit jauh dari pintu binatu, namun dekat dengan tangga menuju rumah. Jiyong duduk di sana, merogoh saku celananya, mencari rokoknya yang tidak ada di sana. "Augh! sialan!" keluhnya, akan kembali masuk ke dalam binatu, mengambil rokoknya di dalam tasnya, namun Lisa sudah lebih dulu keluar, membawa rokoknya.
"Daripada memberiku bantuan yang tidak aku inginkan, bantu aku berbelanja saja," kata Lisa.
"Belanja apa?"
"Aku akan memberikan catatannya, oppa mau pergi berbelanja? Menggantikanku?" tanya gadis itu dan Jiyong menganggukan kepalanya.
"Tapi jangan membuat istilah-istilah konyol di catatan belanjanya, aku tidak sedang ingin berfikir, bermain tebak-tebakan," kata Jiyong dan Lisa menaikan bahunya. Ia bahkan tidak pernah memikirkan ide konyol itu. Yina saja masih sering membeli barang yang salah dengan catatannya, sehingga ia tidak bisa mempercayai Jiyong dengan memberi pria itu catatan dengan tebak-tebakan nama barangnya.
Lisa melangkah masuk kembali ke dalam binatunya. Ia kembali mengecek stok sabun juga keperluannya yang lain, lalu setelahnya kembali duduk, menunggu Jiyong masuk dengan sendirinya. Ia tidak terburu-buru dengan belanjaannya itu. Ia bisa pergi belanja nanti malam, setelah urusannya, atau besok kalau hari ini dirinya terlalu lelah. Ia hanya ingin Jiyong melakukan sesuatu, yang mungkin bisa membantu pria itu melupakan ceritanya.
Ada sedikit penyesalan dalam hatinya hari ini. Ia menyesal karena memberitahu Jiyong tentang hidupnya. Tentang beberapa hari dalam hidupnya yang sudah lama ia relakan. Ia merelakan banyak hal—tidak lulus sekolah menengah, tidak pergi kuliah dan yang paling berat adalah gagal debut setelah hari-hari melelahkannya sebagai anak pelatihan. Ia sudah kehilangan banyak hal, dan melihat Jiyong sekarang, membuatnya ingat akan kehilangan itu. Membuatnya mengingat wajahnya sendiri, setiap malam di belasan tahun lalu.
Sebentar, mumpung Jiyong tengah merokok diluar dan belum ada pelanggan yang datang, Lisa menaruh kepalanya di atas meja. Ia menarik dalam-dalam nafasnya, lalu menghembuskannya dengan berat hati. Ia sendiri masih kesulitan menghadapi hidupnya yang telah dicuri. Sulit untuk merelakan segalanya, meski kini ia tidak ingin melakukan apapun untuk merebut kembali miliknya.
"Untuk apa mencari seseorang yang bahkan tidak ingin kembali," gumamnya, meratap pada lantai di bawah kakinya. Dibawah sepatu ketsnya yang usang. "Kalau aku debut, aku pasti punya banyak sepatu," gumamnya, yang sudah bertahun-tahun lamanya tidak membeli sepatu baru. Tentu ia bisa membeli sepasang sepatu baru, namun uang untuk membayar sepatu itu, masih bisa ia simpan jika sewaktu-waktu Yina sakit. Atau untuk sekedar merayakan kenaikan ranking putrinya di sekolah. Atau untuk membelikannya hadiah ulangtahun.
Gadis itu kemudian mengangkat kepalanya, ketika ia dengar pintu binatunya di dorong. Tiga orang pelanggan datang dengan pakaian-pakaian mereka. Pelanggan lama, para mahasiswa yang tinggal tidak jauh dari sana. Berkuliah di Universitas dekat sana, dan sering datang untuk mencuci kostum-kostum teater mereka.
"Akan ada pentas dalam waktu dekat?" tanya Lisa, ketika seorang dari tiga mahasiswa itu memberikan kartu membernya. "Wah... Sudah sepuluh kali? Kalau begitu hari ini gratis, pakai mesin cuci nomor tiga," katanya kemudian.
"Pentasnya minggu depan," jawab seorang yang memberikan kartu member tadi. Sedang dua temannya langsung pergi ke mesin nomor tiga, untuk mencuci sekantung kostum mereka. "Bibi mau datang? Aku bisa memberimu tiket gratis," katanya.
"Aku tidak mau tiket gratis," tolak Lisa. "Beri aku dua- tidak, tiga tiket," susulnya.
"Eish... Ayolah, biarkan aku membalas kebaikanmu kemarin. Karenamu aku bisa makan satu minggu. Kali ini aku benar-benar bisa memberimu tiket gratis," bujuk pria itu, sembari meletakan tiga lembar tiket yang Lisa minta di atas mejanya. "Bibi harus datang," titahnya kemudian. "Ajak Yina juga. Tapi dia belum pulang sekolah sekarang? Padahal aku ingin melihatnya. Sudah lama aku tidak-"
"Putriku masih terlalu kecil untukmu, tuan," potong Lisa.
"Bibi! Aku baru dua puluh satu tahun, aku tidak setua itu!" serunya, sedang dua temannya yang sudah duduk, terkekeh mendengarnya.
"Bibi, dia punya pacar," celetuk seorang temannya. "Jangan biarkan dia mendekati putrimu," katanya kemudian, membuat Lisa menaikan alisnya lantas berbisik, bertanya siapa gadis yang anak itu kencani.
Lisa terkekeh, berbincang dengan para mahasiswa yang sudah jadi pelanggan tetapnya itu. Mereka biasa datang satu minggu sekali untuk mencuci pakaian mereka sendiri. Lalu datang dua kali lagi, sebelum dan setelah pementasan teater mereka. Di tengah obrolan itu, Jiyong kemudian masuk, melenyapkan seluruh tawa yang sebelumnya ada di sana. Pria itu tidak terlihat marah, namun tidak juga kelihatan senang.
"Mana daftar belanjaannya?" Jiyong bertanya, menghampiri Lisa tanpa menyapa pelanggan binatu itu. Pria itu memang jarang sekali menyapa pelanggan di sana, namun biasanya ia tetap tersenyum jika tidak sengaja bertemu tatap dengan salah satu pelanggan di sana.
"Ini dan ini uangnya," kata Lisa, memberikan daftar belanjanya juga kartu e-money miliknya pada Jiyong. "Jangan pakai uangmu sendiri. Pakai uang di kartu itu. Kalau uangnya kurang telepon aku," pesan gadis itu, yang hanya Jiyong jawab dengan anggukan kecil.
"Aku bisa membeli ini di satu tempat?"
"Ya, pergi saja ke pusat perbelanjaan S, tiga blok dari sini," angguk Lisa. "Kalau barang yang ada di daftar tidak ada, tidak perlu mencari gantinya, beli saja barang yang ada," susulnya dan kali ini Jiyong yang menganggukan kepalanya.
Pria itu pergi begitu saja setelah mengemasi tasnya. Hanya menyapa dengan sedikit gerakan tangan, bak remaja pubertas yang tengah patah hati. Tidak terlihat bersemangat dan terus menghela nafasnya. Bahunya bungkuk seolah baru saja diberi batu besar di sana. Lalu melihatnya, hanya bisa membuat Lisa menghela nafasnya.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Introducing Me (New Version)
FanfictionAku si itik buruk rupa yang ditinggalkan ibuku. Aku melihatnya bertengkar kala itu, marah dan memukul pria di depannya, laki-laki yang aku pikir ayahku, tapi tidak pernah sudi aku panggil begitu. Keesokan harinya, setelah pertengkaran hebat, ia memb...