***
Jiyong memasukan dua koper ke dalam bagasi mobilnya, sedang di sebelahnya masih ada dua koper lainnya. "Harusnya aku membeli mobil yang lebih besar," gerutunya. Lalu ia masukan dua koper lainnya ke kursi belakang. Hanya di satu sisi, sebab sisi lainnya harus cukup untuk Yina duduk di sana. "Augh! Berat sekali! Apa ini?!" seru Jiyong, setelah ia mengangkat kopernya yang terakhir.
"Buku," Yina berkata, sembari melangkah keluar dari binatunya. Ia genggam sekaleng soda di tangannya, lalu mengulurkannya pada Jiyong. Memberikan apa yang pria itu minta beberapa menit lalu. "Eomma tidak jadi ikut," katanya kemudian. "Dia akan menyusul nanti sore," ucapnya.
"Dimana dia sekarang?" tanya Jiyong, sebab tidak ia lihat sepeda motor istrinya di sana.
"Belum pulang sejak tadi pagi, pergi ke supermarket katanya," ucap Yina. "Paman tidak tahu eomma pergi?"
"Dia belum kembali? Aku kira dia sudah kembali, aku sibuk dengan semua koper itu, sejak pagi. Pantas saja aku kelelahan sekarang," katanya, menenggak soda yang Yina berikan.
Untuk beberapa minggu ke depan, mereka akan tinggal di tempat lain. Sementara mengungsi ke sebuah apartemen yang tidak seberapa jauh dari sana. Tepat setelah gedung sebelah terbeli, Jiyong tidak mau membuang-buang waktu, segera ia renovasi rumahnya. Ia ingin menambah beberapa ruangan di lantai dua, lalu memakai setengah lantai satu untuk garasi dan sisanya dipakai untuk memperluas binatu istrinya. Ia keluarkan semua tabungannya untuk membuat rumah idealnya.
"Tsk... paman hanya mengemas pakaianmu dan pakaian eomma... jangan mengeluh. Kita akan berangkat sekarang? Atau nanti?" tanya Yina namun Jiyong menggeleng. Pria itu melangkah masuk ke dalam binatu, mengambil duduk di salah satu kursi, lantas melihat Jihoon juga ikan peliharaannya di meja kasir.
"Jihoon-ah, tolong jaga ikanku," pinta Jiyong.
"Yes sir!" santai Jihoon, sembari memperhatikan ikan kecil di dalam akuarium itu. Mengetuk-ngetuk kaca akuariumnya, menarik perhatian si ikan yang mengabaikannya. "Tapi berapa lama kalian akan pindah? Sampai kapan renovasinya? Bos tidak memberitahuku," tanyanya kemudian.
"Bos? Oppa memanggil ibuku, Bos?" heran Yina, bergabung dengan Jiyong di salah satu meja. Duduk menyamping, agar ia bisa melihat Jiyong di sebelah kanan, juga Jihoon di sebelah kiri.
"Beberapa minggu, paling lama dua bulan. Kalau lancar, renovasinya selesai dalam tiga minggu," jawab Jiyong, yang sekarang justru menelepon istrinya. "Dimana kau sekarang? Apa kau sengaja kabur karena tidak mau repot-repot pindahan?" tanya Jiyong, tepat setelah Lisa menjawabnya.
"Whoa... Tuduhan macam apa ini? Aku ada di apartemen," jawab Lisa, yang justru merubah panggilannya jadi panggilan video. Ia tunjukan apa yang sedang dilakukannya, meletakan belanjaan ke dalam lemari es. "Tidak ada peralatan dapur dan ada banyak debu di sini, tapi aku sudah membersihkannya," jawab Lisa.
"Mereka tidak membersihkannya?" tanya Jiyong dan Lisa menaikan alisnya. Tidak ada yang membersihkan tempat itu.
Tempat itu bukan apartemen mewah, sebuah apartemen lima lantai dengan lima unit di tiap lantainya. Penghuninya beragam, ada beberapa keluarga, seorang lajang yang tinggal sendiri, ada juga sekelompok mahasiswa yang tinggal bersama untuk membagi uang sewa. Dan pemilik gedungnya tidak membersihkan rumah itu pada penyewa baru mereka. Pemilik gedungnya, hanya memberikan kunci dan menagih uang sewa, tidak ada pelayanan lainnya.
"Kalau begitu, aku langsung ke sana," jawab Jiyong. "Aku sudah mengemasi pakaianmu, kalau ada yang kurang, kita bisa pulang lagi untuk mengambilnya," susulnya dan Lisa mengangguk. Toh Lisa juga harus pergi ke sana setiap hari—mengecek proses renovasinya, sekaligus bekerja di binatunya.
"Oh, beritahu Jihoon, aku akan ke sana nanti sore. Dia bisa pergi kalau harus kuliah-" susul Lisa.
"Ini hari Sabtu," potong Jihoon, yang tentu mendengar suara Lisa, sebab Jiyong memutar layar handphonenya. Agar Jihoon bisa melihat Lisa lewat layar handphonenya.
"Oh iya," angguk Lisa kemudian. "Aku lupa, kalau begitu cepat ke sini. Beli makan siang juga di jalan, aku sudah lapar. Padahal sekarang baru jam sepuluh," katanya.
Selanjutnya Jiyong berpamitan pada Jihoon, ia berikan handphonenya pada Yina sedang dirinya mulai mengemudi bersama Yina di sebelahnya. Panggilan video masih berlangsung dan kini Yina yang bicara, bertanya makanan apa yang ibunya inginkan.
Tidak sampai tiga puluh menit, mereka tiba di apartemen itu. Yina mendorong dua koper, begitu juga dengan Jiyong. Namun tidak ada makanan di tangan mereka, sebab Yina sudah memesan makanan itu untuk diantar langsung ke apartemen barunya. "Tempat ini bagus," kata Yina. "Kalau dibanding apartemen Paman yang lama memang tidak ada apa-apanya. Tapi mahasiswa yang bisa tinggal di sini, mereka pasti kaya, iya kan?" oceh gadis itu, sembari melangkah keluar dari lift di lantai lima, melangkah ke sebelah kiri untuk sampai ke unitnya di sudut.
"Hm... Ini apartemen paling bagus di sekitar sini," angguk Jiyong. "Ibumu tidak ingin pindah terlalu jauh," susulnya.
"Kalau tidak ada Paman, eomma akan tetap tinggal di rumah walaupun berdebu," jawab Yina. "Dan dia akan mengeluh seharian karena suara dan debu konstruksinya. Aku sudah pernah mengalaminya, saat kami ingin mengganti dinding binatu jadi kaca. Padahal hanya dua hari, tapi eomma marah sepanjang hari, karena bising," ceritanya.
"Dia melakukan semuanya untuk berhemat," santai Jiyong, yang akhirnya tiba di depan unit mereka. "Apa kodenya?" tanyanya kemudian.
"Sama seperti kode rumah?" balas Yina, yang kemudian menekan kode pintunya—namun gagal. Bukan itu kode pintunya, namun tidak lama berselang, Lisa keluar membukakan pintu.
"Padahal sudah aku kirim kodenya di grup keluarga," kata Lisa. "Tidak bisakah kalian berdua membaca pesanku? Untuk apa membuat grup kalau aku harus mengirim juga pesannya ke chat pribadi?" gerutu Lisa. "Dan aku sudah bilang, tidak ada yang suka saus tomat di rumah ini, kenapa masih memesan saus tomat? Pesan saja saus keju dan spicy garlic. Augh... Tidak ada yang mendengarkanku," keluhnya sembari melangkah masuk ke dalam tempat tinggal barunya, dengan Jiyong dan Yina yang mengekor di belakangnya.
"Kau tidak mengganti sausnya tadi?" tanya Jiyong, sebab Yina yang memesan ayam goreng lewat aplikasi di handphonenya tadi.
"Lupa," bisik Yina. "Aku sibuk mencari spicy garlic tadi, banyak sekali pilihan sausnya," akunya.
Begitu masuk, mereka tiba di ruang tengah, dengan dapur di sebelah kanan, balkon di sebelah kiri dan dua kamar di dua sisi lain ruangan itu. Kamar di dalam apartemen itu tidak bersebelahan, mereka berhadapan, dibatasi oleh ruang tengah yang cukup untuk satu set sofa dan TV. Di banding rumah mereka, apartemen itu lebih kecil, sebab dapurnya yang langsung terhubung dengan ruang tengah, tidak punya meja makan di antaranya. Tidak ada juga tempat untuk meletakkan meja makannya. Hanya ada sebuah meja bar kecil dengan dua kursi tinggi yang jadi pembatas dua ruangan itu.
"Apa aku tidak boleh memakai kamar yang luas? Aku tidak pernah tidur di kamar utama," kata Yina, setelah sang ibu duduk di sofa dan menggambil sepotong ayamnya. Lisa sudah mandi, sudah selesai membersihkan rumah itu dan kini ia gelung rambutnya dengan handuk, menikmati sepotong paha ayam sembari menonton TV di depannya.
"Jangan mimpi, bongkar barang-barangmu sendiri di sana. Jangan buka kopermu di sini, aku sudah membersihkannya," santai Lisa, sembari menunjuk kamar yang lebih kecil di depannya, ia menunjuk kamar itu dengan tulang ayamnya. "Oppa, biarkan saja kopernya di kamar, akan aku bongkar nanti, setelah makan," susulnya, yang kemudian menggerakan tangannya untuk mengajak Jiyong menikmati ayam gorengnya.
Yina berdecak, sembari mengerutkan bibirnya. Cemberut melihat Jiyong yang masih berdiri di balkon, merokok di sana. Jiyong bahkan tidak pernah berencana untuk membongkar kopernya. Tapi Lisa sangat memanjakannya, membuat Yina jadi cemburu padanya.
"Eomma pilih kasih," cibir Yina, yang kemudian menarik kopernya masuk ke dalam kamar.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Introducing Me (New Version)
FanfictionAku si itik buruk rupa yang ditinggalkan ibuku. Aku melihatnya bertengkar kala itu, marah dan memukul pria di depannya, laki-laki yang aku pikir ayahku, tapi tidak pernah sudi aku panggil begitu. Keesokan harinya, setelah pertengkaran hebat, ia memb...
