抖阴社区

35

364 80 0
                                    

***

"Aku dibesarkan di panti asuhan," Jiyong berkata, sembari menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Ayahku meninggalkanku di sana, berjanji akan datang tapi tidak pernah menepati janjinya. Dan aku diadopsi. Lalu dikembalikan. Diadopsi lagi dan dikembalikan lagi. Diadopsi lagi dan lagi-lagi dikembalikan. Ketika itu aku sedih sekali. Aku merasa—ah... Aku pasti rusak, karena itu aku dikembalikan. Mungkin karena aku bodoh. Mungkin karena aku bukan seorang anak yang manis, bukan juga seorang yang tampan. Lalu aku menyerah. Aku tidak ingin lagi diadopsi. Tidak perlu mencoba memasukanku ke dalam keluarga manapun, aku akan membuat sendiri keluargaku," ceritanya, membuat Lisa hanya bisa membisu di sebelahnya.

"Sampai kita bertemu di agensi, keinginanku masih sama. Aku ingin punya cukup uang untuk menikah, membeli sebuah rumah dan membuat keluargaku sendiri," katanya, kali ini ia gerakan kepalanya, menoleh pada gadis di sebelahnya. "Ketika itu, aku bahkan punya bayangan tentang bagaimana keluargaku nanti hidup. Karena ada wanita yang aku sukai, waktu itu. Aku membayangkan bagaimana hubunganku dengannya, bagaimana pernikahanku dengannya, bagaimana jika kami tinggal bersama. Aku membayangkan semuanya, diam-diam, karena aku menyukainya," ocehnya, sembari menatap lawan bicaranya yang juga balas menatapnya, tanpa mengatakan apapun.

"Tapi pada suatu hari, ketika aku mengobrol dengannya, dia bilang dia tidak akan menikah. Ibuku hancur setelah menikah, dan jadi lebih hancur lagi setelah ayahku meninggal. Kami kesulitan membayar uang sewa, dan uang peninggalan ayahku hampir habis. Aku tidak akan menikah—begitu katanya. Dia bilang dia ingin jadi kaya raya, dengan tangannya sendiri, kerja kerasnya sendiri. Dia tidak ingin berkeluarga, dia ingin hidup seorang diri sambil menikmati kekayaannya. Dan karena aku sangat menyukainya, aku mengikutinya. Aku hapus semua angan-anganku tentang pernikahan, berkeluarga di rumah kecil yang hangat," ceritanya, pada gadis yang serius mendengarkannya. Tanpa Jiyong tahu, apa yang ada di dalam kepala gadis itu.

"Apa itu mungkin?" Lisa kemudian bertanya. "Melupakan mimpimu hanya karena seseorang yang oppa suka?" herannya.

Jiyong lantas menggelengkan kepalanya. "Tidak, sulit untuk melupakannya. Jadi aku mulai memikirkan cara untuk membujuk gadis itu, agar dia yang merubah mimpinya. Tapi... Sebelum aku sempat membujukmu, kau pergi. Aku sangat membencimu, saat itu. Kau membuatku merasa sangat bodoh. Aku menyukai dan dicampakan anak kecil—kau membuatku merasa begitu dan itu melukai harga diriku. Bertahun-tahun aku hidup sambil membencimu. Dan di saat yang sama aku juga merindukanmu. Lalu tanpa sadar, aku melakukan apa yang jadi mimpimu. Aku bekerja keras, lalu bisa membeli semua yang sebelumnya hanya aku lihat di katalog."

"Tapi tidak ada apapun di rumahmu," komentar Lisa.

"Aku bilang, aku bisa membelinya, bukan aku sudah membelinya. Aku melihat katalognya, uangku cukup untuk membelinya dan aku bisa membelinya—aku tidak tahu cara membelinya tapi ada Jennie yang bisa aku suruh membelinya. Tapi... Aku tetap tidak membelinya. Aku yang dulu tidak punya tempat tinggal dan harus tidur di studio, bahkan tidak merasa senang saat berhasil membeli apartemen pertamaku."

"Kenapa? Oppa mau bilang uang tidak bisa membuatmu bahagia?"

"Tidak," geleng Jiyong. "Aku merasa begitu karena aku masih membencimu," jawabnya kemudian tersenyum pada gadis di depannya. "Lihat, meski kau sudah melukai hatiku, aku tetap bisa berhasil—aku ingin sekali memamerkan hasil kerja kerasku padamu. Tapi kau tidak ada. Jadi aku merasa, semuanya sia-sia."

"Jadi semuanya salahku?" tebak Lisa, membuat Jiyong menganggukan kepalanya, dengan sangat percaya diri.

"Hm... Semua salahmu. Aku hanya ingin punya sebuah rumah, seorang istri dan dua anak. Tapi karena ucapanmu waktu itu, sekarang aku hanya punya sebuah apartemen kecil dan satu mobil," keluh Jiyong.

"Aku juga membuatmu jadi kaya raya, bukan begitu?" balas Lisa, yang kemudian Jiyong iyakan dengan sebuah anggukan kepala. "Tapi kenapa tidak menyebutnya? Oppa harusnya berterima kasih padaku," katanya kemudian.

"Aku ingin memintamu bertanggung jawab, tapi itu memalukan. Lebih baik tidak aku katakan," kata Jiyong, lalu mengusap bahu teman di sebelahnya. "Kau tidak pernah menyukaiku?" tanyanya kemudian, setelah ia selesai mengusap-usap bahu Lisa. "Tidak perlu di jawab, aku akan sangat malu kalau jawabannya tidak," tolak Jiyong.

Lisa menghela nafasnya sekarang. Mengatakan kalau ia pernah menyukai Jiyong namun patah hati saat Jiyong bilang dirinya mengencani Sandara. Lisa sudah lebih dulu patah hati karenanya—fakta itu sekarang mengejutkan Jiyong, sebab sebelumnya ia tidak pernah mengetahuinya. Tinggal di asrama berselimutkan senioritas, disepelekan karena masih sangat muda, ditertawakan karena konyol juga ceroboh, karena tidak tahu apa pun, lalu diberi perhatian lebih oleh seorang pria yang sudah punya gajinya sendiri—anak mana yang tidak menyukainya? Pria itu?

Ketika itu Jiyong terlihat sudah sangat dewasa bagi Lisa. Pria dua puluh tahun, sudah bekerja, bisa membeli rokok, bisa menyetir dan tidak pernah dimarahi karena pergi tengah malam atau bolos sekolah—ketika itu Jiyong terlihat sangat keren untuk Lisa, bagi Lisa ia terlihat seperti seorang pria yang bisa menaklukkan dunia. Dan pria itu memberinya banyak perhatian. Membelikannya camilan, memberinya saran, memberinya pujian, juga membuat senior-senior diasrama mau bergaul dengannya. Lisa menyukainya, seorang seperti tameng yang bisa ia andalkan. Tapi ternyata pria itu mengencani teman satu asramanya.

"Aku sudah bilang kalau saat itu, aku hanya berpura-pura mengencaninya," kata Jiyong setelah mendengar ingatan lawan bicaranya.

"Mana aku tahu? Aku pikir oppa membohongiku. Aku pikir oppa bilang begitu agar Dara eonni tidak dihukum, atau agar kau tetap bisa mendekati perempuan lain. Dara eonni juga tidak mengatakan apapun padaku. Dia tidak bilang kalau kalian hanya berpura-pura," balas Lisa. "Pokoknya, saat itu aku patah hati dan bersumpah tidak akan menyukai pria lagi," katanya. Tidak pernah Lisa sangka, kalau setelah ia bersumpah, Tuhan memberinya banyak sekali cobaan. Membuatnya tanpa sadar menepati sumpahnya sendiri. "Hidupku rasanya berakhir di empat belas tahun lalu," kata Lisa kemudian, sengaja memeluk lututnya sendiri lalu menghela lagi nafasnya.

"Kau bisa memanfaatkanku untuk kembali ke hidupmu sendiri," balas Jiyong, pelan namun terdengar cukup serius.

"Aku merasa buruk kalau melakukannya," gumam Lisa. "Aku benci kakakku yang selalu memanfaatkan kekasihnya. Lalu ayahnya Yina menjadi karma untuknya. Bibi Oh bilang kalau kakakku sempat tinggal di rumahnya, selama kehamilannya. Tapi tiba-tiba dia melarikan diri. Melihat bagaimana Bibi Oh memperlakukanku, dia pasti tersiksa hidup dengan wanita seperti itu. Kira-kira apa yang akan jadi karmaku, kalau aku memanfaatkanmu, oppa?"

"Hm... Entahlah," balas Jiyong. "Mungkin terjebak bersamaku selamanya? Aku mungkin akan sangat merepotkan," tebak pria itu, membuat Lisa tersenyum, hampir tertawa. Karma itu tidak terlalu mengerikan baginya.

"Ah... Benar juga," angguk Lisa. "Oppa memang merepotkan. Keras kepala dan tidak mau mengalah. Dan yang paling menyebalkan, kau selalu pilih-pilih makanan. Semua makanan yang kau suka, aku tidak bisa memasaknya."

"Siapa yang menyuruhmu memasaknya? Kita bisa membelinya," santai Jiyong. Ia balas tatapan Lisa, lantas menaikan bahunya, ingin mengatakan kalau ia tidak terlalu peduli dengan semua detail itu. "Kau sudah merasa lebih baik, kan? Kalau begitu pergilah mandi dan kembalilah bekerja. Jangan terus tidur seperti gadis yang dicampakkan- ups."

"Apa saja yang anak itu katakan padamu?"

"Semua?" kini pria itu mengukir senyum canggungnya.

"Semua?" ulang Lisa dan Jiyong bangkit dari duduknya.

"Pokoknya, aku sudah melakukan tugasku," Jiyong bangkit dari duduknya, menarik Lisa untuk bangkit lalu mendorongnya masuk ke dalam kamar mandi. "Sekarang giliranmu melakukan tugasmu, mandi dan kembali bekerja," suruhnya.

***

Introducing Me (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang